IV.       Kemping Amatir

Jumat siang. Bulan Juli. Jam satu lebih duapuluh menit.

Aku memeriksa barang-barang bawaanku lagi. Pakaian ganti, kaus kaki, kaus tangan, topi maling, dan jaket, oke. Indomie delapan bungkus, beras satu gelas, ada. Jas hujan, sudah masuk. Matras punyanya Mas Angga, siap. Aqua dua botol besar, ada juga. Roti sama snacknya, oke. Mangkuk, siap. Sikat gigi, odol, handuk, sabun… ga masalah. Senter, ini dia. Tissu gulung, yup. Korek api, ada. Handphone dengan baterei dicharge penuh, oke.

Aku menatap daftar barang bawaan, yang kudapat dari Gimbal kemarin, dengan seksama. Semua yang tertulis di situ sudah masuk ke tas carrierku. Beres semua, walau aku masih merasa ada yang kurang. Apa ya?

Kulonuwun!” Terdengar lantunan salam dalam bahasa Jawa dan ketukan pintu. Aku menoleh dan melihat Itut berdiri di ambang pintu bersama beberapa temannya.

“Oi Tut! Tungguin bentar. Aku pamitan dulu,” ucapku seraya memasuki dapur.

Begitu melihat budhéku yang lagi masak di dapur, segera saja aku berkata, “Budhé, Gas pergi dulu yah? Sudah dijemput teman-teman ini.”

“Sudah mau berangkat Gas?” Budhé Rika mematikan kompor, dan melangkah ke ruangan depan mengiringiku.

“Siang Budhé Rika!” Itut menyapa budhéku diikuti teman-temannya yang lain.

“Udah pada mau berangkat? Hati hati di jalan lho!” kata Budhé Rika.

“Permisi Budhé!” Seiring salam perpisahan ini, kamipun melangkah menuju tempat dimana kami harus berkumpul.

oooOOOooo

Aku melongo menatap kendaraan besar model truk tentara di depanku. “Kita naik ini?” tanyaku kayak orang bego.

“Nggak! Kita jalan kaki sampai Lawu,” sahut Kepik disebelahku seenaknya. “Ya iya lah kita naik ini. Udah, masuk saja lah Gas! Sulit ini cari kendaraan kayak gini.”

Mengikuti kata-kata Kepik, aku memanjat naik bak belakang truk tentara itu. Menyusulku, naik juga Itut yang terus menerus menggerutu panjang pendek tak ada habisnya.

“Kemping genit!” kata Itut, setengah kesal setengah geli. “Ini mau kemping atau mau pindah rumah, bawa-bawa panci penggorengan, kompor minyak gede, dan apa lagi tuh… Najis, kemping bawa payung.”

“Yah, siapa tahu hujan kan,” ucap yang dikomentari Itut. Aku lupa siapa namanya.

“Jah. Hujan waktu kemping? Pakai jas hujan Nyong! Masa pakai payung?”

“Jas hujanku dipinjem tetangga belum dibalikin. Yang ada payung, ya bawa saja lah.”

“Ini lagi!” Itut berseru mengomentari sosok yang baru saja naik bak belakang truk. “Mau ke kantor Mbal? Rapi banget.”

Aku hampir ketawa melihat Gimbal. Dia yang sehari-hari cuma pakai kaus oblong dan jeans bolong-bolong, kali ini memakai baju tersetrika rapi, berdasi lagi, terus memakai celana halus dan sepatu kantoran hitam. Edan.

“Kenapa? Iri yah? Keren kan diriku?” balas Gimbal santai saja, sok narsis malah.

“Ni anak sarafnya bener-bener udah korsleting Gas. Jangan ditiru. Pembangkang asli melawan segala jenis kebiasaan umum dia,” komentar Itut. “Kuliah ke kampus pakai kaos, jeans dan sandal jepit. Lari pagi selimutan pakai sarung. Terus sekarang, liat tuh… kemping pakai pakaian macam itu. Rasain ntar nyucinya kalau kemping dah selesai.”

“Nggak usah komentarin orang Tut!” sahut Si Doel yang baru naik. “Kamu sendiri itu gimana? Pakai kaos tiga lapis, tambah jaket lagi, trus celana berapa lapis tuh sampai tebel kayak gitu? Nggak kepanasan?”

“Panas dikit nggak papa,” komentar Itut santai. “Sekalian ngirit tempat di tas. Tasku kecil gitu. Kalian sih, gak ngasih tahu aku sebelumnya. Kalau dari dulu-dulu aku tahu, aku kan bisa bawa tas carrierku yang di Tangerang.”

“Nggak usah saling kritik. Terima saja keanehan teman-teman kita apa adanya,” ucap Didid, salah seorang dari kami, dengan lagak bijak. Ia memegang gitar saat ini. “Daripada saling ejek, mending kita nyanyi saja sambil nunggu truk ini jalan. Ayo nyanyi, nyanyi… Aku iringi.”

Orang edan juga ini Didid. Ngomongnya mau ngiringi nyanyi tapi musik yang dimainkannya itu Implora, musik instrumen tanpa syair. Tanpa peduli yang lain, si kecil hitam ini asyik saja bermain gitar sambil bersiul-siul, mana fals lagi siulannya.

“Ada yang bawa karet gelang?” Gimbal bertanya.

“Buat apaan Mbal?”

“Buat njepret mulut monyong bocah edan ini,” ucapnya sambil menunjuk Didid. “Siul-siul fals di deket kupingku. Risih tahu, Kampret! Ngiringin yang bener, napa? Sini, aku saja yang main gitarnya.”

Dengan segan Didid mengulurkan gitar ke Gimbal. Gimbalpun mulai memainkannya, mengiringi lagu jadul banget yang dinyanyikannya dengan riang… lagunya Arie Wibowo, Madu dan Racun.

Engkau yang cantik, engkau yang manis, engkau yang manja….

Selalu tersipu, rawan sikapmu dibalik kemelut,

diremang kabutmu,

di tabir mega-megamu,

kumelihat dua tangan dibalik punggungmu…

Madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu,

Aku tak tahu mana yang akan kauberikan padaku,

Aku tak tahu mana yang akan kauberikan padaku…

Di dalam bak belakang truk tentara itu, suasananya jadi meriah banget. Semuanya pada ikut menyanyikan lagu yang dimainkan Gimbal. Heran juga masih pada ingat lagu selawas itu.

oooOOOooo

Dua setengah jam kemudian, kamipun sudah sampai di lereng Lawu.

“Kita diriin tenda disini!” Kepik berseru. Baguslah, sudah pegal kakiku berjalan setengah jam sambil bawa ransel plus tenda. Untungnya hawa udara dan pemandangan disini sangat segar, jauh beda dengan suasana Solo yang cukup panas dan riuh, apalagi suasana Jakarta yang jauh lebih menyesakkan. Rasa gerah dan penat selama dua jam lebih di truk, dalam perjalanan tadi, lenyap tersapu bersih oleh kesejukan dan kesegaran udara disini.

“Cowok-cowok! Siapin tenda sama cari kayu buat api unggun ntar malem. Yang cewek-cewek, masakin indomie. Kerja! Kerja!” Kepik berseru memerintah, berlagak mandor.

“Mbal! Tut! Ikut aku bentar yuk!” Teguh, yang resminya memimpin acara kemping ini, berseru mengajak Gimbal dan Itut disebelahku.

“Ngapain?”

“Nemuin kepala desa wilayah sini. Basa-basi lah, sekedar bersopan santun. Wajar lah, sudah diijinin ngecamp disini juga. Ini kan bukan bumi perkemahan umum yang bisa seenaknya kita datangi.”

“Jangan sama aku kalau ngajak basa-basi. Ableb tuh masternya,” ucap Itut. “Aku disini saja cari kayu bakar.”

“Ya udah. Bleb! Ayo!” Lantas, mereka bertiga, Teguh, Ableb sama Gimbalpun melangkah menjauh.

“Jauh rumah kepala desanya dari sini Tut?” Aku bertanya penasaran, sambil berjalan mengiringi Itut dan Kepik mengumpulkan ranting kering. Perasaan dari tadi kami jalan terus nggak ngelewatin satu rumahpun deh.

“Yah, nanya ke aku… Mana kutahu? Baru sekali ini aku kesini. Sebelum-sebelumnya kemping ya di bumi perkemahan, bukan di sini.  Tapi tempat ini jauh lebih mendingan kok. Bumi perkemahan sih pasti ramai liburan gini.”

“Deket kok Gas,” kata Kepik. “Kalau ketemu orang sini terus nanya, yakin deh jawabannya pasti sudah dekat.”

“Ya. Terus sesudah berjalan dua jam, ketemu orang, nanya lagi. Jawabannya juga tetap sudah dekat,” komentar Itut sambil ketawa. “Selamanya dekat kalau disini.”

“Jah! Orang sini penipu semua yah?”

“Bukan gitu Gas. Orang-orang sini cuma nggak mau mematahkan semangat mereka yang nanya,” ucap Itut, tumben serius. “Kalau kita nanya, terus dijawab masih sangat jauh, kan lemes kita rasanya.”

Sementara itu, sambil bercakap-cakap, kami bekerja… mengumpulkan ranting-ranting pohon yang cukup kering, lalu kami bawa kembali ke basecamp kami tadi.

“Oi! Lihat tuh! Tupai!” Menil, yang sedang memasak mie dengan cewek-cewek yang lain di basecamp, menunjuk satu arah. Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya, bener juga. Ada tupai. Tapi cuma sebentar makhluk itu nongol. Dia langsung lenyap lagi dibalik semak-semak.

“Saudara jauhnya Alvin tuh!” Wulan berkomentar. Lalu, dengan suara yang mirip sekali dengan suara cempreng lucu Alvin di film Alvin and the Chipmunks, ia mulai bernyanyi tanpa malu-malu…

Where is the moment when we need it the most?

They take a belief that the magic is lost.

They tell me your dream gets fade to gray,

They tell me your passion’s gone away,

And I don’t need your telling on…

Cause you have a bad day..

Wew! Bad Day versi Alvin and the Chipmunks. Keren. Apalagi teman-temanku yang lain juga langsung pada bereaksi spontan, mengiringi pakai mulut, sekalipun mereka juga masih tetap meneruskan kerja mereka. Jadi mirip acapella alami. Gila! Keren abis. Bisa-bisanya mereka beraksi spontan macam gini. Kayaknya, kemping ini nggak bakalan bosenin deh.

Lalu…

“Lanjut Did!” Begitu lagu selesai, Wulan langsung berseru kepada Didid, yang tadi ditengah-tengah lagu meninggalkan tugasnya mendirikan tenda untuk mengambil gitar dan menggunakannya untuk mengiringi.

Welcome to my paradise…

Take a look out to my eyes,

And you’ll be…

Wow! Didid tanpa ragu langsung melanjutkan dengan irama reggae, menyanyikan lagu Welcome to My Paradisenya Steven & the Coconuttreez. Bagus juga suara si kecil hitam ini, nggak kayak siulannya yang berantakan. Mengiringi lagu inipun irama acapella spontan anak-anak KOST ini terus berlanjut. Nggak nyangka aku, cuma dengan satu gitar dan banyak mulut bisa jadi irama yang seasyik ini.

“Lanjut Thi!” Begitu lagu selesai, Didid mengulurkan gitarnya ke Minthi, salah seorang dari kami, yang langsung memainkannya tanpa ragu dengan irama genjrengan hard rock.

Biar saja ku tak sehebat matahari,

tapi slalu kucoba tuk menghangatkanmu,

biar saja ku tak setegar batu karang,

tapi slalu kucoba tuk melindungimu…

Ini… Benderanya Cokelat. Keren! Banyak dari kami yang menghentakkan kaki mengikuti irama lagu ini. Acapellanya terhenti kini. Banyak yang memilih untuk ikut nyanyi daripada mengiringinya dengan voiper seperti kedua lagu sebelumnya.

Kemudian…

“Giliranmu Ya!” Minthi mengoper gitarnya ke Lia. Liapun tanpa banyak komentar menyanyikan…

Seandainya kau bilang saja padaku apa yang kaurasakan,

tanpa harus kau diam dan diam lagi, buatku tak mengerti,

kau datang dan pergi seperti sibuk sendiri,

kau suka ku suka tapi berputar-putar…

Kali ini Cape dech dari T2. Hoo! Asyik! Tapi kemudian setelah lagu itu usai…

“Ayo Gas!” Lia mengulurkan gitar yang dipegangnya kepadaku. Gawat! Kebagian giliran juga aku? Mainin lagu apa ini?

Entah bagaimana, aku sendiri tak yakin. Tapi, secara spontan, aku ternyata bisa langsung memainkan lagu yang pertama kali melintas di benakku…

Pertama ku melihatmu bergetar rasa hatiku,

Berdebar-debar jantungku mungkin ku suka padamu,

Ketika ku melihatnya berdetak-detak di dada,

Mungkin itu suatu pertanda bahwa kusuka padanya,

Dia atau dia kupilih yang mana, aku pusing untuk memilihnya…

Aku tak tahu mengapa lagu Jatuh Cinta Laginya Matta ini yang kupilih untuk kunyanyikan. Tapi yang jelas irama ceria lagu ini membuat yang lainnya dengan gembira bisa turut bernyanyi. Bahkan ada back voice hulalalanya segala. Asyik!

“Doel!” Begitu lagu selesai, aku segera mengoper gitar pada si Doel, yang paling dekat denganku. Irama asyik segera menghentak dari genjrengannya. Lagunya…

Racuunn! Racuuun! Racuuuun…!

Tak hanya Si Doel yang menjeritkan lagunya the Changcuters ini. Yang lainnya, mengenali dari irama intronya, ikut pula histeris menyanyi bersama Si Doel.

“Habis playboy, anak yang patah hati. Nggak ada yang bener ini.” Sempat kudengar Itut berkomentar, setengah geli.

“Muk!” Begitu usai, si Doel segera mengoper gitar berikut tugas menyanyi ke Si Muk.

Akulah kembang perawan,

ingin mulai merasa…

Banyak sendal langsung melayang ke arah pemuda gemuk ini. Orang gila! Bukannya nyanyi yang bener, belum-belum sudah masuk refrain… mana lagu Kembang Perawannya Gita Gutawa lagi.

“Mengerikan kalau yang nyanyi lagu itu kamu, Muk,” protes Menil.

“Si Muk kembang perawan… Najis! Bayangin saja aku ogah!” tambah Kepik.

“Si Muk mah nggak pantes jadi Kembang Perawan… Kembang Bangkai itu baru cocok,” komentar si Doel dengan kejam. Si Muk ketawa-ketawa saja dikatain kayak begitu.

“Minggir! Minggir!” Tiba-tiba terdengar seruan keras dari belakangku. Aku menoleh dan melihat Gimbal, Ableb dan Teguh datang, tergopoh-gopoh membawa tunggul kayu besar yang nampak agak hangus. Segera saja aku menyingkir, membiarkan mereka lewat.

“Busyet! Apaan itu Guh?” Wulan berkomentar.

“Kayu bekas kesamber petir. Buat api unggun,” jawab Teguh senang. “Bisa tahan sampai pagi ini. Untung dikasih tahu sama Pak Kades tadi. Baik Kepala Desa sini.”

“Nggak apa-apa tuh?”

“Tenang saja. Sudah dapat ijin kok. Yang penting api unggunnya nanti benar-benar mati. Yang lebih penting, makanan sudah siap belum? Laper berat nih!”

“Udah beres,” sahut Lia. “Ambil mangkuk sana. Pada bawa kan?”

“Astaga!” seruku saat membongkar tasku. “Baru ingat aku apa yang kurang. Sendok! Aku nggak bawa sendok. Busyet deh.”

“Oh iya!” Itut disampingku juga menepuk jidatnya dengan kesal. “Aku juga nggak bawa. Bisa-bisanya aku lupa.”

Mendengar ucapan kami, teman-temanku yang lain buru-buru mengobrak-abrik tas ransel mereka mencari sendok. Terdengar seruan-seruan kecut mereka berturut-turut.

“Edan! Aku juga nggak bawa sendok.”

“Mampus aku. Bisa-bisanya lupa bawa sendok.”

Kemudian, ternyata dari kami berduapuluh, yang membawa sendok makan cuma dua orang. Ditambah satu sendok besar yang tadi dipakai memasak, cuma tiga.

“Tiga sendok? Orang sebanyak ini, cuma ada tiga sendok? Gimana bisa?” Wulan berseru tak percaya. Ia salah satu dari dua yang bawa sendok.

“Aku bawa barang nurutin daftar yang diberi si Gimbal tuh,” gerutu Ableb. “Gawat nih, masa makan mie pakai tangan telanjang.”

“Busyet! Di daftarmu nggak ada sendoknya Mbal! Pantes pada nggak bawa ini,” seru Kepik kesal. Ia nampak memeriksa daftar barang bawaan. Bawa juga dia daftar itu.

“Jangan nyalahin aku. Yang buat daftar itu kan si Wulan. Aku cuma bantu ngetik dan ngeprint.” Gimbal membela diri.

“Perasaan di daftarku yang tulisan tangan ada sendoknya deh Mbal. Jangan-jangan kelompatan lagi kamu ketiknya,” sahut Wulan memprotes.

“Sudah! Sudah! Sekarang gini saja. Pinjem pisau!” Itut menengahi.

“Sebentar. Kamu mau makan mie pakai ini atau mau bunuh diri karena nggak bawa sendok, Tut? Gak akan kukasih kalau kau mau bunuh diri,” ucap Lia, mengeluarkan pisau dapur dari tas ranselnya, tapi menahannya, tak langsung memberikannya ke Itut.

“Edan apa? Cuma nggak bawa sendok mau bunuh diri,” gerutu Itut kesal. “Sinih! Ini juga! Masa kemping pisaunya pisau dapur begini? Nggak ada pisau lipat apa? Atau cutter gitu.”

Sembari menggerutu, Itut menghampiri sebatang pohon dan memangkas dua potong ranting. Ia lalu menggunakan pisaunya, semacam mengupas ranting itu, menjadikannya sepasang sumpit.

“Encer juga otakmu Tut! Gantian! Aku juga pinjem pisaunya.” Gimbal berseru senang, mengulurkan tangan meminta pinjam pisau di tangan Itut.

“Enak saja encer! Kental otakku ini,” gerutu Itut sambil mengoper pisaunya pada Gimbal. “Kalau encer sih udah meluber keluar lewat telinga.”

Gara-gara ide Itut itu, sekarang semuanya pada berebut membuat sumpit. Tapi untung juga. Nggak bawa sendok jadi nggak masalah lagi bagi kami.

oooOOOooo

Senja harinya…

“Acara malam ini apaan? Santai-santai saja kayak gini?” Aku bertanya, memandang matahari yang sudah tak tampak lagi di barat, meninggalkan langit yang masih kemerahan.

“Berbagi dongeng,” ucap gadis cantik berambut panjang di dekatku. Tutiek namanya.

“Siapin cerita Gas. Mau cerita lucu, cerita serem, seru, biasa saja, bener terjadi, atau cuma khayalan. Silakan. Yang penting semuanya kebagian ngedongeng nanti,” tambah Si Pred, adiknya Itut. Nggak ada mirip-miripnya dua saudara ini. Cuma sama-sama jangkung saja.

“Ew! Aku dengerin saja yah?” ucapku enggan.

“Yang nggak cerita kebagian tugas mijitin semua yang bagi-bagi cerita. Mau?” tanya Si Pred ringan.

“Pilih cerita saja aku kalau gitu,” sahutku langsung berubah pikiran. Aku memang enggan ngomong di depan banyak orang, tapi bukan berarti aku nggak bisa. Kuliahku jurusan Sastra Inggris, repot kalau nggak bisa ngomong di depan banyak orang. Bisa-bisa nggak lulus mata pelajaran Public Speaking.[1]

“Kapan mulainya?” tanyaku.

“Setelah api unggunnya nyala. Itu baru dinyalain. Kan asyik ngedongeng diterangi api unggun.”

Lalu…

“Oke! Sudah kumpul semua kan?” ucap Gimbal, memimpin acara. “Kita doa dulu sebentar yah. Bersyukur sekali lagi pada Tuhan yang Maha Kuasa karena kita sampai disini dengan selamat semua. Juga memohon supaya Dia terus memberkati kita dengan limpahan karuniaNya dalam acara bagi-bagi dongeng ini. Juga di acara-acara kita selanjutnya. Oke? Baiklah, berdoa… mulai…”

“Amin,” kata Gimbal menutup doanya. “Sekarang, kita mulai acaranya. Yang pertama kebagian cerita adalah…”

“Pemimpin acaranya,” celetuk Itut memotong dengan cepat. Seruan kompak setuju mendukung kata-katanya ini.

“Punya indera keenam yah Tut?” gerutu Gimbal. “Padahal mau kukasih kamu giliran pertamanya.”

“Itu sih bisa dengan mudah kutebak,” sahut Itut sambil nyengir.

“Ya sudah, aku duluan. Begini ceritaku… Dulu sekali…” Jreng jreng jreng! Didid menggenjreng gitar mengiringi, memainkan irama horor mengiringi kisah Gimbal.

Tanpa terpengaruh, Gimbal meneruskan ceritanya, “… waktu aku masih SMU, aku dikenal sebagai anak yang alim dan pendiam…”

“Ehem…! Ehem!” Batuk-batuk tak percaya terdengar di sana sini. Sulit sih bayangin Gimbal alim dan pendiam seperti yang dia bilang.

Masih tak peduli, Gimbal terus bercerita, pelan-pelan bicaranya. “Waktu itu di kelasku di SMU, tempat duduknya digilir. Tahu maksudnya kan? Pindah-pindah tempat duduk secara teratur. Nah, sekali waktu… aku duduk di bangku paling belakang, pojok, dekat dinding. Emm… aku ingat sekali, jam pelajaran Bahasa Indonesia saat itu. Di luar sedang hujan deras. Deras banget sampai suara guru menjelaskan hampir nggak kedengaran. Langit mendung… Cuaca sangat remang… menyeramkan. Petir menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Saat itulah aku tanpa sengaja melihat ke tembok di sampingku.”

Dengan dramatis ia memerankan ceritanya. “Dan, tahukah kalian apa yang kulihat? Ternyata… ada….”

Jreng jreng jreng! Irama horor kembali terdengar.

“… ada gambar hati yang ditulis pakai bolpen,” kata Gimbal. Setan! Sudah tegang-tegang dengerin. Seruan-seruan kecewa dan kesal terdengar menanggapinya.

“Tunggu! Ceritanya belum selesai, Coy. Nah! Karena aku waktu itu anak yang alim, aku merasa harus memperingatkan yang coret-coret itu dong. Itu kan mengotori properti umum. Iya kan? Nah, makanya… di dinding di bawah gambar hati itu, aku tulis saja: Jangan corat-coret disini! Gitu!”

“Cah edan. Itu sih namanya kamu juga ikut-ikutan mengotori. Gitu bilang diri sendiri alim.” maki Si Muk sambil ketawa. Kocak juga ceritanya Gimbal.

“Yee! Belom selesai ceritanya,” kata Gimbal. “Seperti yang kubilang tadi kan, tempat duduk di kelas kami waktu itu digilir. Nah, esoknya kan aku sudah tidak duduk di situ lagi kan? Emm… Ceritanya dipendekin deh… setelah tiga mingguan, aku kebagian duduk di tempat yang tadi itu lagi. Sekali lagi, saat itu hujan deras dan langit gelap. Aku melihat tembok dan ternyata… ada…”

Didid nggak kasih iringan horor kali ini.

“Yee! Diiringi Did!” seru Gimbal kesal. Didid menggeleng kepala sambil menyeringai kocak.

“Udah, terusin ceritanya,” kata Ari kesal. Ari yang ngomong ini cewek, kecil berkacamata, pacarnya Kepik. Ada dua Ari disini sih. Yang satunya cowok, kerempeng. Yang cowok ini panggilannya Ari Cacing.

“Ya udah lah… sampai mana tadi? Oh ya! Aku melihat ke tembok kan? Ternyata di dinding selain gambar hati dan tulisan peringatanku ada… banyak lagi coretan yang lain. Tahu isinya? Ada yang nulis begini nih di tembok: Bukan aku yang corat-coret lho. Terus: Oh? Nggak boleh corat-coret toh? Ada lagi: Enak saja nuduh, bukan aku yang gambar itu. Terus… macem-macem deh isinya. Kayaknya semua anak di kelasku malah jadi corat-coret gara-gara aku nulis peringatan tadi.”

Aku nyengir geli bayangin cerita Gimbal itu. Edan juga teman-teman SMU si Gimbal.

“Terus gimana Mbal? Nggak ketahuan guru?” Si Pred bertanya penasaran.

“Ya ketahuan lah. Dinding penuh coretan gitu, merembet kemana-mana. Kami sekelas dihukum… disuruh ngecat ulang dinding kelas kami,” kata Gimbal. Pada ketawa yang denger. “Yah berhubung aku waktu itu masih alim, aku nurut saja bantuin teman-temanku ngecat ruangan. Malah aku kasih saran yang bagus waktu itu. Sayangnya, begitu saranku dijalankan teman-teman, eh wali kelasku malah marah-marah dan nyuruh kami ngecat ulang lagi. Dasar nasib lagi sial.”

“Emang apa saranmu Mbal?”

“Waktu itu aku kan mikir, kalau dicat seperti sebelumnya pakai warna kuning krem, kan jadi gampang kotor dan dicoret-coret tuh. Nah aku usulin saja pakai cat yang warnanya nggak gampang kotor, juga nggak gampang dicoret-coret.”

“Warna apaan?”

“Hitam,” sahut Gimbal, langsung disambut ketawa ngakak teman-temanku. Orang gila si Gimbal ini. Masa dinding ruang kelas dicat hitam.

Setelah tawa kami reda…

“Giliranku yang cerita deh,” kata Si Doel. “Cerita waktu masa SMU juga yah. Belum lama sih, baru tahun lalu aku lulus. Peace! Masih remaja aku, belum bangkotan kayak Gimbal. Peace Mbal! Hehehe… Begini, nggak seperti Gimbal, dulu aku bandel banget waktu SMU. Aku sering mabuk-mabukan, berantem, kebut-kebutan, berantem lagi… Macem-macem deh. Bandel dulu aku. Sekarang sih…”

“Masih,” komentar Kepik spontan.

Si Doel melotot, tapi lalu nyengir. “Yah, jujur saja, aku kadang-kadang masih minum. Kadang-kadang, nggak sering. Tapi aku sudah nggak kebut-kebutan atau berantem lagi. Sudah gede sekarang, malu sama umur. Oke, nggak usah dibicarakan lagi itu. Sekarang, kembali ke…”

“Laptop,” potong Kepik lagi.

“Yah, boleh deh kembali ke laptop. Tukul Arwananya disini sih,” komentar si Doel sambil menunjuk Kepik. Ha! Serangan balik yang bagus.

“Kembali ke ceritaku tadi. Suatu malam bulan purnama…”

Jreng jreng jreng! Irama horor kembali terdengar.

Dengan suara dirubah seperti mau menceritakan hal yang seram, Si Doel melanjutkan, “Aku habis main dengan teman-temanku. Jujur saja, mabuk-mabukan waktu itu. Setengah teler, aku naik motorku, niatnya pulang ke rumah. Sudah jam dua pagi waktu itu. Nah, di tengah jalan, entah bagaimana tahu-tahu aku… menabrak truk. Blaarr! Aku langsung terkapar tanpa daya. Motorku remuk bagian depannya.”

“Wess! Seru nih! Dikau mati Doel?” Itut bertanya, semangat. Tapi pertanyaanya itu… nggak niat banget deh.

“Iya mati. Yang disini cuma rohku,” sahut Si Doel kesal. “Ya nggak lah! Tapi aku masuk rumah sakit. Babak belur badanku. Tanganku sampai digips segala.”

“Pas aku masuk rumah sakit itu, teman-teman sekelasku pada datang menjenguk. Rame jadinya rumah sakit itu. Mereka pada nanya macem-macem. ‘Kok bisa kecelakaan Doel? Gimana ceritanya?’ ‘Kamu nggak apa-apa kan?’ ‘Motormu ancur ya Doel?’ ‘Kapan kawin Doel?’ Eh, yang terakhir nggak ada hubungannya yah? Ya pokoknya mereka ribut gitu deh. Mana satu keranjang apel dari saudaraku yang jenguk sebelumnya disikat habis mereka lagi.”

“Terus? Terus?”

“Nah, waktu itu ada yang nanya: ‘Kamu nabrak apa Doel?’ Aku jawab jujur dong: ‘Nabrak truk.’ Ada yang nanya lagi, ‘Yang bawa kamu kesini siapa?’ Ya kujawab, ‘Sopir truknya.’ Langsung pada komentar, ‘Wah! Bukan tabrak lari ini. Kamu beruntung Doel. Sopirnya ganti biaya rumah sakit kan?’ ‘Nggak!’ jawabku.”

“Kok nggak? Tuntut dong Doel. Biasanya kamu kan sadis kalo nyuruh ganti rugi,” komentar Ableb penasaran.

“Gimana mau minta ganti rugi? Aku nabrak truk yang sedang diem diparkir. Diparkirnya di tempat yang bener lagi.”

Kami langsung ketawa ngakak mendengar jawaban Si Doel ini. Edan ini anak. Truk diparkir. Diem. Main ditabrak saja.

“Makanya jangan ngebut sambil mabok! Apalagi mabok sambil ngebut, bahaya tuh!” ucap Gimbal sok memberi petuah.

Sehabis kisah kocak Si Doel ini, kisah-kisah lainpun diceritakan bergantian. Ada yang sekocak dan seedan ceritanya Gimbal dan Si Doel. Ada yang cerita pengalaman serius namun seru. Ada juga yang memilih ceritain ulang film menarik yang pernah mereka lihat, atau cerita menarik yang pernah mereka baca.

Seru-seru ceritanya, terutama yang pengalaman-pengalaman pribadi. Ada yang cerita bagaimana ceweknya direbut orang. Ada yang ngedongeng tentang kisah seru pendakian ke Semeru dimana mereka sempat ketakutan melihat macan liar. Ada yang cerita tentang kawannya yang meninggal saat jatuh waktu mendaki Merapi. Ada yang cerita tentang kisah kocak kecebur sungai saat memancing. Macem-macem deh ceritanya.

Ada juga cerita seram. Nah, yang terakhir ini biang keroknya si Teguh. Begitu dia mulai cerita seramnya, semua sesudahnya, termasuk aku, jadi ikut-ikutan menuturkan cerita seram. Akibatnya… empat tenda yang kami dirikan jadi nggak ada isi manusianya. Semuanya memilih tetap berada di pinggir api unggun bersama-sama yang lain, enggan memasuki tenda yang gelap itu. Pada penakut semua ternyata. Yah, aku juga sama saja ding. Hehehe…

Malam pertama kemping ini kami habiskan di luar tenda. Yang ngantuk berat ya pada tidur meringkuk mengelilingi api unggun, beralaskan matras atau tikar. Aku sendiri rencananya mau begadang sampai pagi, ngobrol dan bernyanyi-nyanyi dengan mereka yang enggan tidur, juga menikmati langit malam di pegunungan yang indah sekali… bertabur begitu banyak bintang, cerah tanpa awan.


[1] Pidato, bicara di depan banyak orang.

{Bab 5} – Kemping Amatir II

Leave a comment