I.          Meet the KOST

Rabu sore. Bulan Juli.

Saat ini, aku sedang berada di rumah Pakdhé[1] Anto di Solo. Baru sampai sini tadi pagi sebenarnya. Niatku sih mau menghabiskan sisa libur panjang semesteran, yang tinggal belasan hari, disini.

“Gas, dicari Itut tuh!” Terdengar suara memanggilku. Dari teras depan. Suara Budhé[2] Rika, kakaknya ibuku.

“Ya, Budhé.” Aku menjawab malas-malasan seraya bangkit berdiri dari sofa, meletakkan komik Detektif Conan yang tadi kubaca, asal saja di meja. Tatapanku sekilas terarah ke jam dinding. Baru jam enam lewat dikit. Masih sore.

Di teras, kulihat Itut, anak tetangga sebelah yang sebaya denganku, berbincang sopan dengan budhéku. Baru kemarin aku kenal pemuda jangkung ini. Kami sama-sama naik bus dari Tangerang, duduk sebelahan. Setelah ngobrol beberapa saat kemarin, ketahuan ternyata rumahnya tak jauh dari rumah Pakdhéku ini. Malah, ia ternyata salah satu sobat karibnya Mas Angga, saudara sepupuku yang kini bekerja di Lampung.

“Yo, Gas! Nganggur kan? Ikut aku yuk!” Melihatku, Itut langsung mengajak, sok akrab.

“Kemana?” tanyaku langsung.

“Ikut saja, kukenalkan sama teman-temanku. Tenang. Kita orang baik-baik semua kok. Tanya Budhé Rika tuh,” sahut si jangkung bermata sipit itu.

Budhé Rika tersenyum. “Ikut sajalah Gas. Temen-temennya Itut juga temen-temennya Angga kok. Anak-anak gila semuanya sih, tapi nggak apa-apa lah. Daripada kamu disini diem saja di dalem rumah baca komik. Masa jauh-jauh dari Tangerang kesini cuma buat baca komik?”

“Ayo Gas! Deket sini kok.”

“Ya, bentar deh. Aku ganti baju dulu. Tungguin yah,” kataku agak malas-malasan. Aku sebenarnya enggan ikut sih. Masalahnya, aku cuma bisa sedikit bahasa Jawa. Sedang anak sini biasa ngomongnya pakai bahasa Jawa semua. Pasti jadi seperti aliens kesasar nanti aku.

Akupun cepat naik ke lantai dua. Ngomongnya tadi sih ganti baju, tapi aku sebenarnya cuma ganti celana pendek jadi celana jeans panjang saja. Cuma itu. Lalu, aku langsung turun kembali.

“Yuk!” ajakku.

Itut, yang sedang mengobrol dengan Pakdhé dan Budhéku di ruang tamu cepat berdiri dari sofa dan berpamitan. Akupun mengikutinya, berpamitan juga. “Gas pergi dulu Pakdhé! Budhé!”

oooOOOooo

Kami berhenti sejenak di depan sebuah rumah tak jauh dari rumah Pakdhéku. Beberapa sepeda motor tampak di halaman depan rumah ini. Di rumah sebelah, terdapat sebuah pohon mangga besar. Dahannya sampai ke pekarangan rumah ini, berbuah ranum, mengundang selera. Dengan menelan ludah aku menatap buah-buah mangga ranum itu, berharap bisa menikmatinya.

Di perjalanan tadi aku diberitahu Itut. Rumah yang kami datangi ini sebenarnya kosong, mau dikontrakkan tapi belum ada yang melakukan deal dengan pemilik rumah untuk menyewanya. Untuk sementara, rumah kosong itu dirawat oleh salah satu teman Itut, jadi semacam markas buat kelompoknya mereka.

Wé, Itut! Kapan balék Solo kowé Boss? Prèi kuliahmu? Piyé kabaré?[3] Seorang pemuda gondrong keriting yang sedang mencuci vespa di halaman berseru senang menyambut kami, seperti dugaanku, dalam bahasa Jawa yang sangat kental logatnya. Ia meninggalkan vespanya, melangkah mendekati kami.

Sip! Kok sepi Mbal? Endi liyanné?[4] Sambil menyalami pemuda itu, Itut membalas dengan bahasa yang sama, bahasa planet.

Wis dha teka kok. Lagi dha nèng njero kaé. Endi olèh-olèhé?[5]

Wis entèk nggo wong omah. Bas mentah waé lah. Mangan opo wis, tak traktir. Oh, ya Mbal. Iki kenalké sik, seduluré Angga saka Tangerang iki… Bagas.[6]

Si pemuda gondrong mengulurkan tangan ke arahku. Aku menjabatnya. “Haryanto,” katanya.

“Bagas,” sahutku.

“Panggil dia Gimbal saja Gas. Itu lebih terkenal daripada nama aslinya. Dia yang kubilang punya tugas merawat rumah ini.” Itut berkata, dalam bahasa normal sekarang.

“Kapan datang ke Solo, Gas? Barengan sama Itut?” Haryanto, si Gimbal ikut bertanya dalam bahasa normal.

“Tadi pagi. Kebetulan saja satu bus sama si Itut ini,” sahutku. Untung mereka pakai bahasa Indonesia sekarang.

Wéé, ana Itut! Kapan tekan Solo kowé Tut?[7] Suara riang terdengar dari dalam rumah. Lima cowok dan tiga cewek tampak melangkah keluar dengan bersemangat, menyalami Itut dengan gembira.

Lagi mau ésuk tekaku. Piyé kabaré cah? Iki kenalké sik, seduluré si Angga saka Tangerang. Ngomong nganggo basa Indonesia cah, wong Jakarta ki, ra ngerti basa Jawa.[8]

“Hambudi. Panggil saja si Doel.” Salah satu dari mereka, yang berambut cepak, mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.

“Si Muk.” Pemuda gemuk di sebelahnya ikut memperkenalkan diri, tak merasa perlu memperkenalkan nama aslinya.

“Erwan. Tapi pada manggil aku Kepik,” sambung si baju merah yang berambut agak berombak.

“Kosa,” tambah pemuda kekar yang berkaus biru tua.

“Suci,” timpal cewek pendek berambut lurus sepundak.

“Panggilannya Menil dia Gas. Adiknya Gimbal tu. Nggak ada mirip-miripnya ya?” Itut berkomentar. “Yang ini adik bungsunya Gimbal. Agak lebih mirip kalau dibanding si Menil. Paling nggak rambut sama-sama keriting lah.”

“Dyah,” kata cewek berambut panjang agak keriting yang ditunjuk Itut.

“Endro. Yang lain sih suka seenaknya manggil aku Ableb, ga tau kenapa,” kata cowok kurus yang bertopi biru, ikut memperkenalkan diri.

“Wulan.” Cewek terakhir memperkenalkan diri. Yang satu ini benar-benar sesaat membuatku terpesona. Ia mengenakan kacamata dan rambut panjangnya yang agak berombak diikat model buntut kuda. Kesannya manis dan segar sekali.

“Bagaskoro. Panggil saja Gas,” ucapku menanggapi perkenalan mereka.

“Hemm, bisa jadi gerhana ini,” Itut berkomentar sekenanya.

“Gerhana?” Dyah bertanya heran.

“Habis matahari ketemu bulan tuh.” Sambil nyengir ia menunjuk aku dan Wulan. Aku langsung ketawa, mengerti maksudnya. Namaku Bagaskoro, dalam bahasa Jawa memang setahuku artinya matahari. Gadis ini Wulan, artinya bulan kalau aku nggak salah. Kalau nggak salah sih. Bahasa Jawaku sangat-sangat terbatas soalnya.

“Kalau matahari ketemu bulan jadinya gerhana. Kalau aku yang ketemu bulan, jadinya apa?” Si Doel iseng bertanya.

“Masuk angin. Kurang kerjaan sih. Begadang di luar semalaman ngelihatin bulan,” jawab Itut seenaknya.

“Sialan!” Si Doel langsung menggerutu mendengarnya.

“Em… kalian ini semuanya temen-temennya Mas Angga?” Aku bertanya, agak heran melihat kombinasi usia mereka. Memang Gimbal dan Si Muk kelihatan sebaya dengan saudara sepupuku itu, tapi yang lainnya usianya paling sepantaran denganku atau malah lebih muda lagi, si Wulan sama Ableb malah sepertinya masih SMU.

“Masih banyak lagi teman-teman Angga dari kelompok edan kami Gas,” komentar Itut. “Yang disini sih masih bisa dibilang normal. Yah, kecuali si Gimbal sih… em dan si Muk… eh dan si Doel juga ding. Bentar… Ableb juga nggak bisa dibilang normal. Terus… Weleh, kalau kupikir-pikir, yang disini semuanya juga nggak normal Gas, kecuali aku tentunya.”

“Dasar, anak ini!” Itut langsung dikeroyok teman-temannya, dihujani jitakan.

“Jangan dengerin dia Gas. Dari kami, yang paling nggak waras itu si Itut,” komentar Gimbal kalem, tak ikut mengeroyok Itut. “Duduk saja Gas! Anggap saja rumah sendiri. Bentar yah?” Usai mengatakan ini, si gondrong ini melenggang masuk rumah.

Menanggapi undangan Gimbal, aku segera saja mengambil tempat duduk di bangku bambu panjang di teras depan rumah itu. Yang lainnya juga ikut ambil tempat duduk. Ada yang di bangku, ada yang di lantai ubin begitu saja.

“Sorry, nggak ada apa-apa Gas, yang ada tinggal makanan monyet sama air putih doang.” Gimbal, begitu keluar langsung menaruh begitu saja botol aqua besar berisi air putih dingin dan setoples besar kacang kulit. Ia masuk lagi dan keluar membawa dua gelas plastik.

“Satu buat aku, satu buat Gas. Yang lain… minum air keran saja gih!” kata Gimbal dengan cuek, menyodorkan satu gelas ke arahku. Langsung saja ia kena sambit kulit kacang dari Si Muk, Kepik, dan Itut.

“Tuan rumah yang satu ini emang kurang ajar banget. Masa tamu disuruh minum air keran,” gerutu Itut, tanpa sungkan mengupas dan memakan kacang yang disuguhkan.

“Makan Gas. Nggak usah sungkan-sungkan. Biarpun cuma kacang, kalau ada monyet-monyet ini bisa-bisa kau cuma kebagian kulitnya ntar,” kata Gimbal.

“Kalian ini semacam Karang Taruna yah?” Aku bertanya, sekedar bersopan santun.

“Nggak lah. Kita ini geng… geng buntu tapi,” sahut Si Muk, nggak serius.

“Orang-orang sini sih manggil kami anak-anak KOST,” kata Ableb, sambil mengupas kacang tanpa sungkan.

“Emangnya pada ngekost yah?”

“Walah, nggak ada yang ngekost ini. KOST yang dimaksud ini bukan nyewa kamar,” jawab Ableb.

“Jadi?” Aku bertanya penasaran.

“KOST itu nama organisasi kami,” kata Wulan. “Eh, organisasi bukan yah kita?”

“Bukan organisasi Neng, cuma kumpul-kumpul doang,” sahut Gimbal. “Orang AD/ARTnya aja nggak ada. Anggotanya nggak jelas. Ketuanya nggak ketahuan siapa. Pengurusnya apalagi.”

“Yah, pokoknya itu nama… nama geng kita ini lah,” ucap Wulan, bingung sendiri.

“KOST itu suatu singkatan,” ucap Kepik, berlagak bijak. “Kepanjangannya… Kelompok Orang STress.” Langsung saja ia kena sambitan kulit kacang dari banyak orang.

“Kamu sendiri yang stress. Ngajak-ajak orang lain,” gerutu Itut.

“Tapi Kepik bener kok. Kalau nggak salah dulu ada kepanjangannya KOST. Apa ya?” Si Muk berlagak mikir. “Apa… Kelompok Orang Setengah Tua ya?” Giliran dia yang langsung kena sambit kulit kacang.

“Dasar pada kacau semua. KOST itu Kelompok Orang Super, Tahu?!” Kosa menengahi, bersiap mengelak dari sambitan kulit kacang, tapi tak ada yang menyambitnya.

“Jadi kita ini superhero dong?” Itut menyimpulkan, sok serius. Ia menunjuk diri sendiri. “Berhubung rambutku sedikit ubanan dan tubuhku agak melar, aku cocok jadi Mr. Fantastic dari Fantastic Four kan? Kepik… yah, karena dia binatang malam, tukang  begadang, boleh lah pakai nama Batman. Kalau Si Doel sih udah pasti Ksatria Baja Hitam. Tuh Belalang Tempurnya ada diparkir di luar.”

“Wajahnya juga mirip Ksatria Baja Hitam kok. Sayang topengnya ga pernah dilepas,” komentar Ableb yang langsung kena sambit kulit kacang dari Si Doel.

“Kalau aku?” Si Muk bertanya.

Tanpa pikir panjang, Itut langsung menjawab. “Yah, tinggal dicat hijau kulitmu, jadi deh…”

“Hulk?”

“Bukan. Buto Ijo,” sahut Itut, cepat menghindar dari sambitan kulit kacang si Muk.

“Serius nih!” Si Muk berkacak pinggang, berlagak marah.

“Sori, Sori! Sekarang serius aku. Kalau lihat penampilan sih, kamu benar-benar cocok jadi superhero yang itu tuh… yang kemunculan filmnya dulu menggemparkan dunia superhero.”

“Apaan?” Menil bertanya, penasaran akan kata-kata Itut itu.

“Underdog,” jawab Itut, langsung berdiri dan lari menghindari kejaran Si Muk. Yang lainnya, termasuk aku, tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Kepik sampai memukul-mukul lantai karena geli. Semuanya sepertinya pernah nonton Underdog, cerita anjing yang jadi superhero itu.

“Serius nih sekarang. KOST itu singkatan dari apa sih yang bener?” Aku bertanya, mencoba serius. Benar-benar penasaran aku sekarang.

“Kepanjangannya KOST yang asli sudah lenyap ditelan masa,” kata Gimbal, berlagak puitis. “Yang sekarang banyak beredar hanyalah asumsi-asumsi kosong belaka.”

“Yaelah, tinggi bener omongannya,” Kepik berkomentar. “KOST itu Kelompok Orang Suka Tertawa. Yakin deh, itu yang bener.”

“Itu hanyalah asumsi kosong,” sahut Gimbal, berlagak angkuh. “Bagi daku, KOST adalah… Kata Orang Saya Tampan.” Kembali kulit-kulit kacang melayang menanggapi ucapan Gimbal ini.

“Nggak ada gunanya cari kepanjangan KOST Gas. Habis, sekarang tiap-tiap orang ngartiinnya beda-beda sih,” kata Dyah.

“Lalu, KOST ini kegiatannya ngapain saja?” tanyaku.

“Kalau belum berubah sih, ada lima kegiatan utama dan banyak kegiatan sekunder KOST,” ucap Itut, yang sudah berdamai kembali dengan Si Muk. “Belum berubah kan?”

“Masih tetap sama kok,” kata Ableb. “Kegiatan utama KOST adalah: nongkrong, bercanda, makan-makan, ngegosip dan ngegodain cewek lewat.” Kembali kulit kacang berhamburan, disambitkan ke arah pemuda bertopi ini.

“Itu sih kegiatan utamamu,” gerutu Si Muk. “Yang bener dong. Lima kegiatan utama KOST itu: makan, makan, makan, makan dan makan.” Pemuda tambun ini juga langsung dihujani sambitan kulit kacang karena ucapannya itu.

“Kalau cowok yang ngejawab, nggak pernah bener jawabannya,” gerutu Wulan. “Kegiatan utama KOST itu: makan makanan yang bergizi, olahraga tiap hari, istirahat yang cukup, mandi sampai bersih dan jangan lupa gosok gigi.” Gubrak! Kalau di komik Jepang pada terjengkang ini semua. Cowok-cewek ternyata sama-sama nggak bener disini.

“Halah, tips apaan itu yang kamu hapalin Lan?” Kosa bertanya. “Tips menjaga kecantikan yah? Eike mau dong, buat menjaga kehalusan kulit eike…” lanjutnya berlagak bencong.

Wulan terdiam sejenak, lalu bergidik. “Iiih, kalau yang ngomong kayak gitu si Kosa… sereem!”

“Ambil handycam Mbal! Perlu direkam tuh gayanya Kosa. Keren sekali. Cocok dijadiin iklan obat cacingan,” Si Muk mengusulkan.

“Boleh juga tuh. Sayangnya, handycamnya lagi disekolahin, biar pinter. Pake handphone barumu saja ngerekamnya Muk,” sahut Gimbal.

“Boleh.” Si Muk merogoh kantongnya dan mengeluarkan… handphone jaman jebot yang ukuran dan beratnya hanya cocok untuk nyambit anjing liar.

“Wow! Handphonemu keren sekali Muk. Barang langka. Beli di museum mana tuh?” Itut langsung berkomentar.

“Ini handphone wasiat tahu. Ini baru bisa kudapat setelah berpuasa tiga hari tiga malam tanpa makan nasi.”

“Makannya lontong, hamburger dan roti pasti,” tuduh Dyah.

Si Muk mengangkat muka angkuh. “Penghinaan. Jelas enggak lah. Tiga hari tiga malam aku beneran nggak makan nasi, apalagi lontong, hamburger atau roti. Tiga hari, aku cuma makan indomie doang.”

Gimbal menepuk pundak Si Muk dengan lagak sedih. “Aku turut berduka cita atas sekaratnya isi kantungmu, Sobat!”

“Duka cita tak membuat isi kantungku sembuh, Sobat. Bagaimana kalau kau berikan aku obatnya? Cukup dua juta, dan aku akan menjadi sehat seperti sedia kala.”

“Sobat! Tak kusangka dikau menghargai persahabatan kita hanya dengan sekedar uang dua juta belaka. Mintalah sepuluh, duapuluh juta, atau beberapa puluh juta sekalipun, sebagai sahabat pasti tak akan kuberi.”

“Pelit!” gerutu Si Muk.

“Maruk!” balas Gimbal. “Kalau punya dua juta, handycamku nggak bakal kusekolahin, tahu!”

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala dan cekikikan saja melihat tingkah teman-teman baruku ini. Pantas saja Budhé Rika bilang mereka anak-anak gila semuanya.


[1] Sebutan bahasa Jawa untuk paman yang dianggap lebih tua dari orangtua kita.

[2] Sebutan bahasa Jawa untuk bibi yang dianggap lebih tua dari orangtua kita.

[3] “Wah, Itut! Kapan kembali ke Solo kamu Boss? Libur kuliahmu? Gimana kabarnya?”

[4] “Baik! Kok sepi Mbal? Mana lainnya?”

[5] “Sudah pada datang kok. Baru pada di dalam tuh. Mana oleh-olehnya?”

[6] “Udah habis buat yang di rumah. Sebagai ganti, aku traktir deh makan apa saja. Oh, ya Mbal. Ini kenalin dulu, saudaranya Angga dari Tangerang ini… Bagas.”

[7] “Wah, ada Itut! Kapan sampai Solo kamu Tut?”

[8] “Baru datang tadi pagi aku. Gimana kabarnya kalian? Ini kenalin dulu, saudaranya si Angga dari Tangerang. Ngomong pakai bahasa Indonesia yah, anak Jakarta ini, ga bisa bahasa Jawa.”

(Bab 2) – Hantu Penakut

3 Responses to “Bulan dan Matahari (Bab 1)”

  1. Made Says:

    senjatanya kulit kacang…. terbayang bagaimana berantakannya.. kulit kacang itu terhampar dimana2… hahaha

  2. veve Says:

    ringan…lucu…tapi pas bahasa jawanya rada2 kaga ngerti artinya..mohon ditranslate…tokoh utamanya yg mana ya banyak bgt soalnya..btw itu tuh true story ya?
    ternyata anda berbakat…


Leave a comment