II.        Hantu Penakut

Masih Rabu malam..

Kulonuwun!”[1] Seorang pemuda melangkah memasuki pekarangan sambil mengucapkan salam yang dilagukan dengan nada unik.

Halah, Manno! Tumbèn kowé teka sadurungé jam sanga, No![2] Gimbal berseru menyapa.

Alo Mbal! Yah, ana Itut! Keamanané Solo terancam néh iki. Gembong terorisé balik néng kéné. Piyé kabaré Tut?[3] Manno, pemuda yang baru datang itu langsung menyapa Itut dengan akrab. Bahasa planet mereka kembali terdengar.

Gembong teroris dengkulmu iku. Piyé kabaré No? Wis arep kawin kowé jaréné? Aku mbok undang rak?[4] Itut menyalami pemuda itu.

Sih patang sasi kas. Kowé kuwi kapan?[5] sahut Manno.

Kapan-kapan waé lah. Wis menebar jala terus-terusan, ra kena-kena cèwè sing tak incer. Padahal niru taktikmu lho aku. Piyé kuwi Boss? Oh ya, No! Kenalké sik… iki Bagas, seduluré Angga. Cah Tangerang ki![6] Akhirnya, Itut memperkenalkan aku juga.

“Manno,” ucap pemuda itu sambil mengulurkan tangan. Aku menjabatnya dan mengucapkan namaku.

“Ini dedengkotnya KOST, Gas! Yang nularin kita-kita jadi rada-rada nggak bener ya dia ini.” Itut memberitahu.

“Tul sekali. Memang aku yang mula-mula bikin mereka jadi agak nggak bener,” ucap Manno mengakui. “Tapi yang bikin mereka jadi bener-bener nggak normal ya si Itut ini. Ditambah Gimbal sama Si Muk.”

“Eh No! Mumpung kamu datang lebih cepet hari ini, aku ada ide menarik nih.” Gimbal berkata, tak mempedulikan tuduhan Manno.

“Gak mau.” Manno langsung menolak.

“Yee… Denger dulu!”

“Ogah! Emoh![7] No way! Nèhi!” Manno tegas-tegas menolak dan beranjak hendak pergi, tapi Itut dan teman-temannya cepat menangkap tangan kaki pemuda itu, menahannya.

“Dengerin dulu dong. Idenya Gimbal selama ini kan seru-seru.” Itut berkata.

“Seru dengkulmu péyang[8]. Kalian seru, tinggal ketawa-ketawa. Aku sedih, kebagian sengsaranya.”

“Dengerin dulu, Monyong!” Gimbal berkata kesal. “Denger… aku baru bongkar-bongkar kamar tadi, bersih bersih…”

“Setelah sepuluh abad nggak disentuh kamarnya,” komentar Kepik memotong. Langsung kena sambit kacang dari Gimbal

“Diem!” bentak Gimbal sambil melotot. Kepik cekikikan saja tanpa takut dibentak gitu. “Gini. Waktu bersih-bersih, aku nemuin itu tuh… banyak cat. Ada cat minyak, cat air, cat acrylic, cat tembok juga ada tuh.” Ia menunjuk tumpukan barang tak jauh dari situ.

“Apa anehnya? Kan kowé tukang cat cita-citanya?” Komentar Manno seenaknya.

Gimbal cuek aja diejek gitu, malah meneruskan dengan santai, “Bener sekali. Nah, berhubung sebagai tukang cat professional pengalamanku cuma ngewarnai tembok sama kanvas, aku minta bantuanmu sekarang nih No. Kepingin nyoba ngecat wajah penduduk suku primitif aku. Nah, spesimen paling pas disini nih cuma dikau…”

“Sembarangan!” semprot Manno. “Elegan sama seksi kayak gini dibilang mirip suku primitif,” lanjutnya narsis.

“Hoek! Anterin aku ke belakang Tut! Mo muntah nih,” ejek Si Muk berlagak muntah.

“Gawat! Tanda-tanda mau melahirkan tuh. Sudah berapa bulan sih Muk?” Manno membalas dengan tangkas.

“Stop!” Itut berseru dan mengembangkan tangan menghadang Manno dan Si Muk.

“Yah, kok dihentikan. Baru mau seru nih tontonannya,” Wulan berseru kecewa. Ya elah. Anak ini. Orang ejek-ejekan dijadiin tontonan.

“Gini… Dengerin omongannya Gimbal tadi, aku jadi punya ide.” Itut berkata, berlagak bisik-bisik.

“Aku pulang.” Manno langsung berseru dan bersiap pergi. “Sama kayak Gimbal, idemu busuk semua Tut. Kena masalah melulu aku ngikutin rencana-rencana kacau kalian.”

“Dengerin dulu, Monyong!” Itut berkata kesal, persis seperti yang diucapkan Gimbal sebelumnya. “Sambil bantuin Gimbal belajar rias wajah buat kerja di salon kecantikan… Gini, Gimbal kan punya selimut yang warnanya putih tuh…”

“Ide bagus!” Gimbal belum-belum langsung menyetujui. “Kecuali bagian aku kerja di salon kecantikan.”

“Ide bagus dengkulmu péyang,” maki Si Muk. “Emang idenya si Itut ngapain coba?”

“Main setan-setanan,” sahut Gimbal bersemangat. “Iya kan?”

“Sok tahu. Ideku sebenarnya kan main hantu-hantuan,” gerutu Itut.

“Sama aja lah. Hantu ma setan ini. Sama-sama mirip kamu tampangnya,” sambar Gimbal kesal. “Tapi ide itu boleh juga Tut. Manno cocok nih jadi pemeran utamanya. Yang lain pura-pura santai yah. Aku dandanin Manno di halaman belakang. Ayo No!”

“Bentar! Bentar! Aku pulang dulu, belom kasih makan kucing aku,” Manno berusaha mengelak.

“Nggak apa-apa lah. Kucingmu puasa sehari kan ga papa. Sekarang… main drama dulu dong. Ayolah!” Itut mencegah Manno.

Ableb ikut angkat suara, “Ayo No! Bikin seru acara hari ini. Kan ada tamu tuh dari Tangerang. Sekalian menghibur si Gas kan. Ayo! Tunjukin akting terbaikmu sebagai hantu. Buktikan merahmu!”

“Ayolah No! Gak bakalan bermasalah ini. Cuma main hantu-hantuan.” Yang lain ikut membujuk.

“Jah! Kenapa nggak kalian saja yang jadi hantu?” Manno protes.

“Gak bisa!” Si Doel angkat tangan. “Belalang tempurku ada di depan. Langsung ketahuan kalau aku yang jadi hantu.”

Mengikuti Si Doel, yang lain langsung berseru memberi alasan. Beberapa sih logis alasannya. Tapi yang lainnya? Denger sendiri deh…

“Aku cewek. Masa nyuruh anak cewek jadi hantu sementara yang cowok ongkang-ongkang nonton.”

“Mau saja aku jadi hantu. Tapi ntar yang lihat bukannya takut, pada ketawa lagi.”

“Aku alergi sama cat dan selimut putih. Nggak bisa didandani jadi hantu.”

“Kalau aku hantunya, ntar setan-setan cewek pada ngerubungiku. Kan repot?”

“Lagi sakit perut aku. Gawat entar kalau mencret pas jadi hantu.”

“Aku nggak bisa jadi hantu. Kucingku lagi melahirkan nih.”

“Jangan aku yang jadi hantu. Jalanan di Jakarta lagi macet tuh.”

“Aku juga nggak bisa. Tahun lalu kan rumah tetangganya mantan temen sekolahku kebanjiran.”

Tuh kan? Alasan yang makin lama makin aneh dan nggak nyambung.

“Ya elah.” Manno menghela napas jengkel. “Ya sudah. Sinih aku yang jadi hantu. Awas ntar kalian kalau aku kebablasan jadi hantu beneran.”

Mendengar persetujuan Manno, langsung saja Gimbal dibantu Si Muk menggiring pemuda itu ke belakang. Kepik menyusul mereka, membawakan cat-catnya si Gimbal.

“Nanti kalau yang lain pada dateng, jangan bilang apa-apa soal Manno yah. Dan jangan pada ketawa loh.” Kosa memperingatkan.

oooOOOooo

Sudah jam sembilan kurang lima menit. Yang sudah datang di tempat Gimbal ini busyet deh… banyak banget. Duapuluh lebih ada, hampir tigapuluh mungkin. Aku sampai nggak hapal nama-nama mereka.

Disini acaranya… beberapa dari mereka cuma duduk-duduk saja dan bercakap-cakap. Beberapa yang lain, termasuk aku, asyik menyanyikan lagu-lagu jadul diiringi gitar dan ketipung. Sisanya main monopoli atau karambol.

“Halo!” Gimbal keluar dari kamar belakang dan menyapa.

“Ngapain aja di dalem Mbal? Kata Itut mencret yah dikau.” Seorang dari kami, yang aku lupa namanya, balas menyapa.

“Mencret dengkulmu! Lagi ngerjain tugas dari kampus tadi.”

“Gayanya! Ini libur semester Nyong!”

“Jah! Emang nggak boleh apa ngerjain tugas pas libur semester? Terserah aku dong!” sahut Gimbal tak mau kalah.

“Udah beres tugasmu Mbal?” Itut bertanya, kelihatan biasa saja tapi kami yang tahu paham kalau yang dimaksud itu tugas si Gimbal nyiapin hantu-hantuan.

“Beres. Tinggal nunggu waktunya dikumpulkan saja.”

“Nggak punya makanan lagi yah Mbal? Kacangnya dah habis nih!” Si Muk berseru, memulai dramanya. Kalau nurutin skenario sih, salah satu dari kami yang nggak tahu bakalan disuruh ambil makanan di belakang. Terus Manno, yang jadi hantu, bakal menakut-nakutinya lewat jendela yang membuka ke kebun belakang.

“Masih ada kacang satu toples kayaknya di dapur. Ambil saja kalau mau!”

“Ambilin Tot!” Si Muk menyuruh Gatot, salah seorang dari kami disini.

“Suruh-suruh seenaknya. Ambil sendiri napa?” Yang dipanggil Gatot langsung menolak.

“Yee. Aku masih main ini, Monyong! Kamu kan yang nganggur. Salah sendiri sudah bangkrut main monopolinya. Sonoh ambil!” Si Muk memerintah, berlagak bos.

Sambil menggerutu panjang pendek, Gatot bangkit berdiri dan melangkah menuju dapur. Tangannya terulur memegang handle pintu yang menuju ke dalam dan menariknya. Dan…

“Huwaaaaa…!” Gatot menjerit kaget dan melangkah mundur ketakutan, sampai terjengkang karena kagetnya.

Semua di ruangan depan itu spontan menoleh dan sebagian besar langsung menjerit dan bergerak menjauh. Aku sendiri, yang sudah tahu kalau kami akan main hantu-hantuan, kaget setengah mati melihat sosok yang berdiri di ambang pintu yang dibuka Gatot itu. Busyet! Nggak sesuai skenarionya.

“Setan! Manno guendeng! Semprul èlèk! Cah uédan!” Gatot memaki-maki kesal, langsung sadar kalau hantu itu adalah Manno. Mendengarnya, yang lain juga langsung mengumpat dan memaki kesal. Kami yang sudah tahu tertawa terpingkal-pingkal sampai perut kami sakit. Melihat Gatot menjerit dan terjengkang tadi benar-benar kocak. Apalagi melihat reaksi yang lainnya. Super kocak.

Dandanan Manno sendiri memang sangat seram. Mukanya, entah bagaimana, bisa menjadi sangat pucat dengan beberapa bagian menggumpal dan mengelupas. Hasil cat yang mengeras sih tapi nampak begitu… menyeramkan. Bagian cekung menghitam di bawah kelopak matanya, juga kerut-kerut dan warna hijau pucat di beberapa tempat. Ditambah dengan warna merah samar di tepian bibir dan beberapa bagian selimut putih yang dikenakannya. Benar-benar seram abis. Juga tampak sangat berbeda sebenarnya dengan Manno sebelumnya. Entah bagaimana Gatot bisa langsung mengenalinya.

“Manno uédan! Cepet banget ketahuannya. Trus ngapain aku dandanin kamu sampai satu jam lebih tadi. Kan harusnya nungguin di halaman belakang.” omel Gimbal. “Liat lampunya terang begini. Di belakang kan lebih remang-remang. Lebih serem. Monyong!”

Manno nyengir malu. “Justru itu. Di belakang kan remang-remang. Nah aku jadi takut sendiri tadi nungguin disana. Kalau ada yang mirip aku nemenin gimana coba? Enakan di sini, terang.”

“Busyet No! Harusnya hantu yang pada takut sama mukamu yang macam gitu!” Ableb berkomentar sambil geleng-geleng kepala. “Baru kali ini aku lihat hantu penakut macam gini. Masa jadi hantu baru berani nakut-nakutin kalau di tempat yang terang.”


[1] Permisi

[2] “Halah, Manno! Tumben kamu datang sebelum jam sembilan, No!”

[3] “Halo Mbal! Yah, ada Itut! Keamanan Solo terancam lagi nih. Gembong terorisnya kembali kesini. Gimana kabarmu Tut?”

[4] “Gembong teroris lututmu itu. Gimana kabarnya No? Udah mau nikah katanya? Kapan? Aku diundang nggak?”

[5] “Masih empat bulan lagi. Kamu sendiri kapan?”

[6] “Kapan-kapan saja lah. Sudah menebar jala terus-terusan, nggak kena-kena cewek yang kuincar. Padahal meniru taktikmu lho aku. Gimana itu Boss? Oh ya, No! Kenalin dulu… ini Bagas, saudaranya Angga. Anak Tangerang ini.”

[7] Gak mau!

[8] lututmu gepeng

(Bab 3) – Hanoman Mencari Cinta

Leave a comment