V.        Kemping Amatir II

Sabtu. Bulan Juli. Pagi.

Langit timur sudah mulai terang, tapi matahari belum nampak. Aku menatap suasana sekelilingku setengah geli. Teman-teman baruku pada bergeletakan di sekeliling api unggun yang sudah tak lagi menyala. Semuanya terbalut rapat sekujur tubuhnya dengan jaket, celana dobel, kaus kaki dan kaus tangan. Muka merekapun ditutupin, jadi pada seperti ninja. Itupun masih banyak yang menggigil kedinginan. Udara memang sangat dingin disini. Apalagi pagi hari kayak begini.

Semalam aku cuma terlelap sebentar. Cuma satu-dua jam mungkin. Tapi anehnya saat ini aku sama sekali tak merasa ngantuk. Mungkin nanti kalau sudah kembali ke kota baru kerasa capek dan ngantuknya. Kata Itut kemarin kalau baru pertama kemping di daerah pegunungan yang dingin memang kadang begitu. Capek dan ngantuknya baru terasa nanti.

Aku menarik penutup kepalaku lebih kebawah. Aku diberitahu Kepik kemarin bahwa yang terpenting untuk menghadapi hawa dingin adalah tidak lupa untuk menutupi telinga dan telapak kaki.

“Yo Gas! Mau jalan-jalan pagi?” Terdengar seruan ceria menyapaku. Akupun berpaling. Wew! Si Wulan tampak bener-bener cakep sekali pagi ini. Benar-benar segar, tak nampak seperti orang yang baru bangun tidur. Gawat. Kalau begini terus-terusan bisa-bisa aku jatuh hati beneran sama dia.

“Ayolah, jalan-jalan! Daripada diem disini kedinginan,” ajak gadis cantik berkacamata ini. Bener juga. Akupun bangkit berdiri, mengikutinya yang sudah melangkah duluan. Jalan-jalan berdua saja dengan cewek secantik Wulan… untung aku jadi ikut kemping ini.

Dari… balik jendela di kamarku, menyelinap seberkas cahaya,

hingga kuterjaga segera, dari tidurku malam itu dan mimpi… yang mesra.

Ketika daku membuka jendela, sinar mentari menyambut pagi.

Burung-burungpun memberikan salam

dalam kesejukan dan indahnya pagi.

Seandainya suasana pagi ini

kan sepanjang hari, betapa bahagia…

Sembari berjalan Wulan mendendangkan lagunya Chrisye yang ini, Pagi. Suaranya yang merdu meski tanpa iringan, lagunya yang indah, penampilan dan gayanya yang manis, ditambah suasana alami di sekeliling kami… membuat suasana pagi ini jadi jauh lebih indah dan romantis. Sekali lagi aku bersyukur pada Tuhan telah diperkenalkan dengan teman-temanku yang disini, terutama dengan gadis manis di depanku itu.

Namun, beberapa lama kemudian…

“Ayo Gas! Giliranmu nyanyi!” Wulan berbalik menghadapiku, masih terus melangkah tapi, melangkah mundur.

Jah! Aku kebagian jatah nyanyi? Lagi? Astaga! Ya sudahlah, nyanyiin lagunya mendiang Chrisye yang lain saja, Zamrud Khatulistiwa.

Aku bahagia,

hidup sejahtera di khatulistiwa,

alam berseri-seri, bunga beraneka…

makhluknya ramah-ramah, bertajuk cahya jingga, surya di cakrawala.

Slalu berseri,

alam indah permai di khatulistiwa,

Persada senyum tawa, hawa sejuk nyaman, wajah pagi rupawan,

Burung berkicau riang, bermandi embun surga…

Wulan turut bernyanyi, menyela,

Syukur ke hadirat Yang Maha Pencipta,

atas anugerahnya tanah nirmala…

Aku tersenyum senang, dan semakin bersemangat menyanyikan lagu manis ini, kali ini bersama-sama dengan Wulan.

Bersuka cita, insan di persada yang aman sentosa,

damai makmur merdeka di setiap masa,

bersyukur kita semua…”

Kami terus berdendang hingga lagu tersebut usai…

“Hahahaha…” Wulan tertawa lepas. “Itu tadi asyik juga Gas. Nggak nyangka kamu juga hapal lagunya Chrisye yang itu. Sekarang… Tahu Sabda Alamnya Chrisye kan Gas?”

“Kicau burung bernyanyi, tanda tlah membuka hari…” Dia mulai bernyanyi tanpa menunggu jawabanku. Ew, fans beratnya mendiang Chrisye ternyata gadis manis ini. Hapal betul lagu-lagunya. Aku sendiri sih tidak bisa dibilang fansnya Chrisye. Banyak lagunya yang aku tak tahu. Tapi, kalau Sabda Alam sih, itu termasuk salah satu lagu favoritku. Maka akupun tersenyum dan ikut berdendang bersama gadis manis ini.

“…dan embunpun memudar, menyongsong fajar,

Sejenak ku terlena akan kehidupan yang fana

Nikmat alam semesta, nusa indah nirmala…

Serasa pagi tersenyum mesra, bertiup bayu membangkit sukma,

Adakah esok kau senyum jua, memberi hangatnya sejuta rasa.

Sejenak ku terlena akan kehidupan yang fana

Nikmat alam semesta, nusa indah nirmala…”

Lalu, ketika lagu itu usai dinyanyikan…

“Asyik Gas! Mau nyanyi la… eh, lihat tuh Gas! Elang!”

Aku menatap arah yang ditunjuk Wulan. Benar juga. Seekor elang tampak melayang, berputar dalam sebuah lingkaran besar. Anggun sekali, melayang tanpa mengepakkan sayap seperti itu. Menakjubkan. Baru kali ini aku melihat elang terbang di alam bebas.

Untuk beberapa saat kami berdua terpaku menatap terpesona elang terbang tersebut. Baru setelah elang itu lenyap di balik pepohonan, kami tersadar dari kekaguman kami.

Awal hari yang menyenangkan. Berduaan dengan gadis manis di awal pagi, berduet nyanyi bersama, terus menyaksikan elang di alam bebas. Kalau sepanjang hari asyik terus kayak gini, bisa-bisa aku enggan balik ke Tangerang entar.

“Eh, itu Itut! Ngapain dia sendirian disana?” Wulan menunjuk satu arah. Benar juga, tampak Itut berdiri di pinggir suatu tebing, sendirian, menatap diam ke satu arah, tampak sangat menikmati apa yang dilihatnya.

“Ayo kita kesana!” Wulan berseru dan mengajakku mendekati Itut. Aku mengangguk dan segera menyusulnya.

“Lagi ngapain Tut?” Aku bertanya, begitu kami tiba cukup dekat dengannya.

Itut berpaling dan tersenyum. “Bagus kalian datang Gas, Lan! Pas banget. Cuaca pagi cerah begini jadi kelihatan jelas dari sini. Lihat tuh disana, agak dibawah. Itu Telaga Sarangan!”

Aku mengikuti arah yang ditunjuk Itut, dan kembali diam terpesona. Pemandangan yang luar biasa indah, sebuah danau di lembah yang dikelilingi bukit dan gunung. Ada banyak bangunan di sekeliling danau itu, tapi itu masih tak mengurangi keindahannya. Menakjubkan.

Aku terpukau menyaksikan keindahan itu sampai beberapa lama. Begitu sadar, di sekelilingku tak lagi cuma Itut dan Wulan. Ableb, Kepik, dan Gimbal ternyata sudah turut bergabung dengan kami menyaksikan keindahan ini.

“Bagus banget! Untung kita kali ini,” ucap Kepik. “Waktu aku survey kemarin dulu, nggak bisa ngelihat yang seperti ini aku. Ada kabut sih waktu itu.”

Itut tampak menengok ke atas, memandang puncak Lawu dengan iri. “Yang naik ke puncak tadi malam benar-benar beruntung. Secerah ini, bisa kelihatan 2M-3S dari puncak kali.”

“Apa itu 2M-3S?” tanyaku tak mengerti.

“Merapi, Merbabu, Sundara, Sumbing, Semeru. Nama-nama gunung di Jawa itu Gas,” sahut Kepik. “Kabarnya sih bisa kelihatan dari puncak Lawu kalau cuaca benar-benar cerah. Aku belum pernah sekalipun lihat sih. Sering berawan kalau aku pas naik Lawu. Masih bagus sih, tapi pemandangan legendaris itu nggak pernah dapet.”

“Jadi tergoda kepingin naik gunung aku,” gumamku, ikut memandang puncak Lawu dengan penuh minat. Beberapa dari temanku di Tangerang juga para pecinta alam yang suka naik gunung. Beberapa kali mereka sempat mengajakku, tapi selama ini aku tak terlalu tertarik. Tapi setelah kemarin mendengar cerita-cerita seru pendakian teman-temanku disini, jadi kepingin coba aku.

“Kapan-kapan aku temenin naik Gas,” kata Itut. “Sudah lama juga aku nggak naik Lawu.”

“Hoi kalian! Sinih, sini! Olahraga pagi bareng-bareng! Ayo! Tut! Mbal!” Terdengar suara memanggil. Kami berpaling. Kosa yang memanggil ternyata.

Gimbal melangkah mendahului kami, menghampiri Kosa. “Ayo!” ajaknya.

“Olahraga apaan?” Aku bertanya pada Itut.

Itut mengangkat bahu. “Ikut saja lah. Sekali-sekali ngikutin acara orang-orang edan nggak papa kan?”

Kemudian, ternyata yang dimaksud olahraga oleh Kosa itu adalah senam pagi di tempat lapang tak jauh dari tempat kami berkemah. Senam pagi yang edan tapi. Senam paginya diiringi musik dari gitar yang dimainkan bergantian. Lagunya… nggak kira-kira variasinya. Ganti-ganti, mulai dari heavy metal sampai keroncong.

Bukan cuma yang main gitar dan lagunya yang gantian, yang mimpin senam juga gantian. Kontan saja senamnya jadi kacau. Selama sekitar setengah jam melakukan senam pagi ini, yang capek bukan tangan kakiku tapi mulut dan perutku… capek kebanyakan ketawa.

Edan benar semua yang mimpin senam pagi ini, gerakannya itu… mulai dari goyang ngebor, goyang patah-patah, break dance yang kebangetan konyolnya… sampai lompat-lompat dengan dua tangan dijulurkan ke depan… gaya vampire Cina. Kacau semua gayanya, nggak ada yang bener.

Setelah senam aneh itu, olahraga berikutnya adalah permainan daerah yang mereka sebut Gobak Sodor. Permainan yang asyik kali ini, penuh dengan tawa canda juga. Pengalaman baru bagiku.

Cara permainannya sederhana sebenarnya. Pertama, kami membuat arenanya dulu, semacam lapangan berbentuk persegi panjang yang dibagi menjadi dua kolom dan tiga baris. Terus pemainnya ada dua tim, masing-masing terdiri dari lima orang.

Satu tim bertugas menjaga, posisinya di garis rusuk kolom dan baris itu, kecuali garis paling kanan dan paling kiri. Mereka boleh bergerak sesuai garis yang mereka jaga, maksudnya kaki mereka tak boleh menapak diluar garis. Tugas mereka adalah menyentuh tubuh anggota tim penyerang yang mencoba melewati garis mereka.

Tim penyerang tugasnya bergerak melewati garis paling bawah sampai melewati garis paling atas untuk kemudian kembali lagi ke garis paling bawah. Kalau berhasil melakukannya tanpa tersentuh penjaga akan mendapat satu poin. Tapi, kalau sampai tersentuh oleh tim penjaga, anggota yang tersentuh langsung keluar dari permainan, menunggu sampai permainan selesai. Permainan selesai bila semua tim penyerang tersentuh tim penjaga. Nah, saat itulah posisi penyerangan dan pertahanan bertukar. Menang kalahnya diukur dari jumlah poin yang dikumpulkan.

Kerjasama sangat dibutuhkan di permainan ini, baik sebagai tim penyerang maupun tim penjaga. Sebagai penyerang, tanpa kerjasama baik untuk melakukan gerakan tipuan atau gerak serempak, tak akan ada anggota tim yang bisa melewati garis tanpa tersentuh penjaga. Sebaliknya, tanpa koordinasi yang benar, para penjaga bisa dibingungkan dan dikecoh dengan mudah oleh gerakan para penyerang. Bahkan bisa-bisa sesama penjaga saling bertabrakan sendiri.

Karena kami ada duapuluh orang, kami dibagi menjadi empat tim… melakukan pertandingan sistim gugur. Tim juara mendapat hadiah… tak perlu memasak, mencuci, dan mencari kayu bakar selama sehari itu.

Sayang sekali, timku, sekalipun menang 2-1 pada pertandingan pertama, dikalahkan timnya Gimbal dengan telak pada pertandingan kedua. Kalah 0-3 kami.

Setelah itu, di basecamp, sambil istirahat, kami rencananya akan diajarkan cara-cara survival dan sopan-santun pecinta alam secara sederhana oleh Kosa, Didid, Itut, dan Teguh yang sudah cukup berpengalaman soal kemping dan pendakian.

“Oke! Kita mulai pengenalan kehidupan di alam bebasnya. Kau duluan Tut,” kata Kosa memulai acara.

“Hemm… bolehlah! Gini teman-teman ya. Aku nggak bakalan kasih teknik survival atau hal-hal yang rumit tentang alam bebas. Itu bagiannya Kosa sama Teguh. Berhubung aku disini juga mendadak ikutnya, aku cuma mau kasih sedikit pengetahuan sopan santun sederhana di alam bebas.”

Itut mengeluarkan tissue gulung dari tasnya. “Aku cuma mau mengajarkan cara menggunakan tissue gulung yang benar di alam…”

“Huuu…!” Sorakan tak serempak menyambut kata-kata Itut ini.

“Ye! Ini serius Nyong!” kata Itut kesal. “Sekarang aku tanya deh, kenapa kita bawa tissue gulung, coba? Ada yang tahu?”

“Buat bersihin mangkuk dan piring lah,” komentar Lia.

“Selain itu?”

“Buat balsem,” komentar Didid sambil nyengir.

“Benar sih. Tapi curang kalau kamu yang jawab Did. Pertanyaan buat beginner ini bukan buat dedengkot pecinta alam macam kamu.”

“Apaan itu balsem?” Aku bertanya tak mengerti. Masa tissue gulung buat menghangatkan badan?

“Balsem itu kepanjangan dari balik semak,” jawab Itut. Yaelah. “Itu istilah beberapa orang untuk be a be di alam bebas. Tahu be a be kan? Buang air besar. Nah, kalian bawa botol aqua sama tissue gulung itu salah satu alasannya ya dipakai untuk itu. Sekarang kaitannya sopan santun dengan balsem apaan coba?”

“Meninggalkan big water sembarangan itu nggak sopan Pak Guru!” Ableb menjawab sambil mengacungkan jarinya, seperti di dalam kelas saja.

“Meninggalkan apaan?” tanya Si Muk tak mengerti.

Big water. Buang air besar Bahasa Inggrisnya dumping big water kan?” sahut Ableb sambil nyengir. Pada ketawa yang denger.

“Seenaknya bikin istilah si Ableb,” komentar Wulan sambil geleng-geleng kepala.

“Sekalipun istilahnya ngaco, yang dibilang Ableb itu ada benarnya,” ucap Itut berlagak bijak. “Nah, murid-muridku… Kita sebagai manusia pencinta alam yang ramah lingkungan seharusnya menjaga lingkungan, benar?”

“Benar Pak Guru!” seruan serempak menanggapi kata-kata Itut yang sok tua itu.

“Nah, untuk menjaga lingkungan, pada saat buang air besar di alam bebas, kita harus mengingat 3 M, benar? M yang pertama adalah…”

“Menstruasi,” celetuk Si Muk seenaknya.

“Apa? Kamu lagi menstruasi Muk? Yang bener?” balas Itut cepat.

“Enak saja!”

“Kamu yang enak saja. Lagi serius ini,” protes Itut tapi masih dengan tampang santai. “3 M dalam buang air besar di alam itu… menggali lubang, membuang sisa metabolisme kita ke dalam lubang, dan menutup kembali lubang tersebut. Paham anak-anak?”

“Empat M, Pak Guru! Membersihkan badan belum,” protes si Doel.

“Iya deh, empat M. Yang waras ngalah,” komentar Itut pasrah. “Nah, masalah utama para campers di Indonesia adalah kurangnya rasa sopan santun yang ini. Masih banyak big water-big water yang tergeletak sembarangan di sekitar tempat perkemahan, atau di sungai-sungai. Ini memalukan. Kita sebagai para pecinta alam yang baik jangan seperti itu ya, anak-anak?”

“Iya Pak Guru!” seruan kompak serempak menjawab. Benar-benar menjadi seperti taman kanak-kanak tempat ini.

Itut berdehem, berlagak menjadi guru benar-benar. “Baiklah, anak-anak. Sekarang Pak Guru Kepik akan memberikan penjelasan berikutnya soal etika pecinta alam yang bener. Silahkan Pak Kepik.”

“Terimakasih saudara Itut, atas kesempatan yang diberikannya kepada saya,” ucap Kepik dengan lagak resmi. “Sebelumnya, saya juga mau mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, yang telah memberikan karuniaNya yang tak terkira bagi kita semua. Terima kasih juga kepada bapak dan ibu saya dirumah, juga kepada teman-teman disini, kepada sopir truk yang kita naiki kemarin, tukang sate di depan rumah, tukang becak…”

Sambitan sendal dari berbagai arah menghentikan cerocos asal Kepik itu.

“Oke… oke! Aduh! Busyet, sudahan ngelempar sendalnya Nyong!” ucap Kepik, kelabakan menghindari hujan sendal ke arahnya yang belum berhenti juga.

“Udah ah! Gini, aku cuma mau ngomong soal etika pecinta alam. Ada yang tahu nggak etika pecinta alam? Satu…”

“Ketuhanan Yang Maha Esa,” serobot  Ableb.

“Syukurlah!” Kepik mengelus dada dengan lega. “Ternyata masih ada yang ingat sila-sila Pancasila, saudara-saudara. Bangsa kita belum hancur saudara-saudara. Masih ada dari kaum muda yang peduli akan bangsa kita. Mari kita pekikkan teriakan kebanggaan bangsa Indonesia. Merdeka! Merdeka! Mer…! Aduh!” Lemparan sendal kembali menghentikan orasi edan si Kepik.

“Iya! Iya! Stop! Jangan lempar lagi! Aku terusin yang bener ini,” ucap Kepik kesal. “Etika pecinta alam itu satu… tidak mengambil apapun selain gambar. Maksudnya foto-foto sih boleh, tapi ambil barang-barang lainnya kalau bisa sebaiknya jangan, meskipun itu cuma batu atau daun. Yah, kalau benar-benar kelaparan sih nggak ada salahnya comotin daun-daunan buat dimakan, tapi kalau enggak perlu ya jangan.”

“Bisa juga serius serangga satu ini,” komentar si Doel. Aku nyengir. Kepik memang nama sejenis serangga kan? Ladybug kalau dalam bahasa Inggrisnya.

“Etika yang kedua… tidak meninggalkan apapun selain jejak langkah. Jadi, nanti sampah-sampah kita, terutama yang non organik, tidak boleh kita tinggalkan di sini. Panitia sudah membawa lima plastik sampah besar. Sampah-sampah kita nanti dimasukkan disana terus kita bawa turun, disatukan di tempat sampah desa paling tidak nantinya. Ada pertanyaan?”

Belum ada yang sempat ngomong, si Kepik ini langsung bicara lagi. “Nggak ada pertanyaan kan? Jangan pada nanya yah. Itu tadi aku semalam hapalin mati-matian. Jangan ditanyain pliss, aku nggak bisa jawab ntar.”

“Huuu!” Sorakan serempak langsung menyambut ucapan Kepik ini.

“Oke! Itu tadi sedikit bimbingan etika dan sopan santun dari Mas Itut dan Mas Kepik, sedikit banget sebenarnya. Payah nih kalian, sudah dikasih waktu satu jam juga di jadwal acara, cuma ngomong segitu,” ucap Teguh setengah berolok, mengambil alih acara. “Ya udah deh. Sekarang, sebelum kita memasuki acara pengenalan teknik survival di alam, marilah lebih dulu kita… makan pagi. Laper nih!”

“Setuju!” Sorakan serempak menyetujui usul ini.

Acara berikutnya adalah makan pagi. Makan pagi yang berantakan tapi. Niatnya masak nasi goreng… tapi menanak nasi saja sudah nggak beres, separuh nasinya yang dipinggir gosong sedang separuh yang di tengah masih belum matang. Ampun deh.

Terus sudah begitu, nekat saja nasi yang separuh gosong separuh belum matang itu dijadiin nasi goreng. Pas dibagi-bagikan, ajaibnya nasi goreng seajaib itu habis tanpa sisa. Padahal rasanya nggak karu-karuan dan makannya juga masih pakai sumpit darurat yang kemarin. Bisa habis semua… benar-benar keajaiban.

Setelah makan, kami meneruskan acara pengenalan teknik survivalnya. Teguh, Kosa dan Didid menunjukkan banyak jenis tumbuhan yang bisa dimakan dan yang nggak boleh dimakan. Nggak bakal hapal aku, nggak bisa ngebedain jenis-jenis tumbuhannya sih. Paling yang inget cuma bahwa pakis itu ternyata bisa dimakan. Yang juga jelas ingat sih bahwa sebaiknya kita nggak mencoba makan jenis jamur apapun di alam liar.

Lalu, kami juga diajari cara mendapatkan air… dari embun pagi dan dari pohon bambu. Yang terakhir cuma teori sih, karena nggak ada pohon bambu di sekitar situ.

Cara menyalakan api model pramuka dengan menggunakan dua kayu yang digosokkan juga diajarkan oleh Kosa cs. Teori juga ini. Masalahnya ini masih pagi, nggak ada kayu kering yang bisa dipakai, semuanya basah karena embun. Akhirnya disimpulkan supaya jangan pernah pergi ke alam liar tanpa membawa zippo atau korek api. Hehehe….

Membawa korek api juga ada tekniknya, karena kalau dibawa biasa saja ke daerah pegunungan macam gini, yakin deh bakal basah kena embun. Didid menunjukkan cara yang benar, yaitu memasukkan batang-batang korek api dan kertas pemantiknya ke dalam suatu wadah plastik yang bisa tertutup rapat. Yang ditunjukkannya sebagai contoh sih bekas wadah roll film untuk kamera manual.

Lalu, siang harinya, acara kami adalah… bergantian mandi di mata air. Ini buat para cowok-cowok yang pada nggak punya malu bugil di alam bebas sih. Cewek-ceweknya, juga beberapa cowok yang masih kenal malu… seperti aku, memilih untuk cuma sikat gigi ditambah cuci muka, tangan dan kaki di mata air, terus ganti pakaian di dalam tenda.

Edan bener di sini. Jam sebelas siang cuci muka, masih kedinginan aku. Airnya kayak air kulkas, dingin minta ampun.

Habis mandi, acaranya bebas. Beberapa dari kami menggunakannya untuk main kartu, beberapa memilih menghabiskan waktu dengan tidur dibawah pepohonan, beberapa yang lain memilih bernyanyi-nyanyi diiringi gitar, yang lainnya… termasuk aku, memilih eksplorasi daerah sekitar.

Aku, Itut, Wulan dan Ableb menjelajah daerah sekitar situ bersama-sama. Pertama-tama kami ke desa terdekat, bercakap-cakap dengan beberapa penduduk yang kami temui. Yang ngobrol teman-temanku, bukan aku. Nggak ngerti aku apa yang mereka omongkan, habis ngomongnya pake bahasa Jawa gitu, sedang tahu sendiri pengetahuan bahasa Jawaku sangat-sangat minim.

Yakin deh, begitu ada waktu dan kesempatan, aku bakalan belajar bahasa Jawa, ogah aku merasa teraliensi begini. Tapi, betapapun, nggak bakalan aku mau kalau yang ngajarin teman-temanku ini. Habis, sudah bisa ditebak sih, pasti mereka nanti ngajarinnya yang aneh-aneh dan mungkin saja sengaja salah terjemahin.

Setelah puas ngobrol, kamipun menjelajah hutan kecil di sebelah barat basecamp kami, bergabung dengan Didid, Kepik dan Ari di tengah jalan.

“Dari mana saja kalian?” Didid bertanya sambil melangkah mengiringi kami.

“Ke desa, ngobrol dengan beberapa penduduk,” sahutku. “Mereka sih yang ngobrol, pakai bahasa aliens yang aku nggak ngerti artinya.”

Didid ketawa. “Aku dulu juga kerepotan waktu masih awal-awal sekolah di sini. Tapi lama-lama ngerti juga kok bahasa aliens mereka.” Aku mengerti maksudnya. Aku sudah dengar tentang latar belakang si Didid ini. Memang orangtua Didid berasal dari Solo, tapi sama sepertiku, ia tumbuh dan besar di luar kota. Ia di Jakarta, aku di Tangerang. Baru waktu SMU, ia kembali ke Solo untuk sekolah disini.

“Pik! Kamu nggak ngerasa yah?” Ableb tiba-tiba menegur Kepik.

“Apaan?”

“Lihat tuh lengan kirimu, dibawah siku,” kata Ableb.

Kepik mengangkat lengan kirinya dengan kikuk, mencoba melihat apa yang ada di lengan kirinya. Lalu… ia menjerit histeris.

“Uwaaaa…! Lintah! Setan! Lepasin! Bantuin lepasin!” Dengan panik ia menyodorkan lengan berlintahnya kepada teman-temanku, yang otomatis langsung menghindar menjauh.

“Ya elah! Sinih!” ucap Ari. Tanpa ragu, ia langsung menangkap dan mencabut lintah itu dari lengan Kepik, lantas membuangnya begitu saja ke semak-semak. Wew! Cewek mungil ini ternyata sama sekali tak takut atau jijik sama lintah. Jauh berbeda dengan Kepik pacarnya yang kelihatannya saja pecinta alam yang tangguh, tapi begitu ketemu lintah langsung jadi histeris.

“Malu-maluin saja si Kepik!” komentar Itut geli. “Masa pendaki senior gini takut sama lintah. Heran deh! Tapi, kamu juga nggak boleh sembarangan cabut lintah Ri! Bahaya. Darahnya bisa keluar terus nggak berhenti-berhenti tuh.”

Itut berpaling pada Didid, “Beresin tuh lengannya Kepik, Did. Bawa perlengkapan perang kan kamu?”

“Bikin repot saja si Kepik,” gerutu Didid, mengeluarkan kotak peralatan kecil dari tas pinggangnya. “Rokok bawa, air juga bawa, masih juga panik ditempelin lintah. Tinggal dikucurin air tembakau kan dia lepas sendiri. Mana lenganmu? Sinih!”

Kepik mengulurkan lengannya yang masih mengucurkan darah ke Didid. Dengan terampil si kecil hitam ini menggunakan pisau cutter kecil dan penjepit, melakukan semacam operasi pada luka Kepik.

“Ngapain dia?” tanyaku ke Itut.

“Kalau lintah dilepas dengan dicabut paksa seperti yang dilakukan Ari tadi, ada kemungkinan kaki… atau entah apa namanya bagian tubuh lintah itu, masih menancap di kulit, menusuk pembuluh darah, dan membuat darah terus menerus keluar. Karena itu si Didid mencoba mengeluarkan kaki lintah itu,” ucap Itut, menerangkan dengan lagak seorang ahli. “Untung ada si Didid. Cuma dia setahuku pecinta alam yang bawa peralatan tukang waktu ke gunung…”

“Dah! Beres tuh!” ucap Didid. “Minta plester ke Lia sana gih! Punyaku sudah habis.”

“Sip! Trims Did,” seru Kepik, memisahkan diri dari rombongan kami, bersama Ari kembali ke basecamp.

“Jago berantem, tukang naik gunung… sama lintah saja panik.” Didid berucap geli sambil geleng-geleng kepala, melihat ke arah mereka pergi.

Aku ikut tersenyum geli. Nggak nyangka kalau Kepik ternyata takut lintah. Sama nggak nyangkanya kalau Ari ternyata nggak takut atau jijik sama lintah. Teman-temanku disini benar-benar pribadi-pribadi yang menarik. Hari ini dan besok… aku pasti masih akan banyak mendapat pelajaran dan keceriaan dari mereka. Tak salah aku memilih ikut kemping yang aneh bin ajaib ini.

{Bab 6} – Let’s Dance Together

Leave a comment