VI.       Let’s Dance Together

Senin. Bulan Juli. Senja hari.

“Bosen nih!” Si Doel membuka suara untuk yang kesekian kalinya. Saat ini di markas besar KOST ini cuma ada dia, aku, Itut dan Gimbal. Yah, si Doel nggak salah juga sih. Setelah acara seru kemping kemarin, nongkrong disini sambil ngobrol doang terasa sangat membosankan. Apalagi karena gitar Gimbal masih dibawa Didid dan belum dibalikin.

“Nggak ke rumah cewekmu Doel?” Gimbal bertanya. “Malem Minggu kemarin dikau ikut kemping kan? Absen kau apelnya? Diputusin loh ntar.”

“Pergi dianya, liburan ke rumah saudara,” jawab Doel cuek saja.

“Mbal, CD playermu sudah bener?” Itut bertanya. “Nggak seru nih nggak ada musik.”

“Udah bener, nyalain aja. Tapi aku nggak punya CD musik yang asyik disini. Pada dibawa pulang Menil sama Dyah kaset-kaset CDku,” jawab Gimbal

“Bisa mainin MP3 kan?” Itut mendekati CD player itu dan mengeluarkan sebuah CD dari dalam tas yang dibawanya.

“CD apaan tuh Tut?” tanyaku.

Sambil menyalakan player dan memasukkan CD ke dalamnya, Itut menjawab, “Kompilasi. Sempat ngedownload beberapa lagu keren aku beberapa waktu lalu. Ku’burn’ di CD ini. Denger aja. Keren kok.”

Begitu dinyalakan, irama dangdut ceria langsung keluar dari speaker.

“Dangdutan? Niat amat ngedownload lagu dangdut?” Aku bertanya sambil mengangkat alis. Edan si Itut emang.

“Yes Tut! Ini lagunya PMR kan? Lama aku cari-cari lagu-lagu gini.” Gimbal berseru senang, bangkit berdiri dengan semangat.

“PMR?” tanyaku, belum pernah dengar tentang itu.

“Pengantar Minum Racun, grup musik lama tuh. Lagu mereka dangdutan edan semua. Denger saja!”

Aku rela hidup bersamanya, asal saja aku bahagia,

walaupun kau tua sudah bau tanah.

Ku tak rela kalau hidup susah, ku tak rela hidup menderita,

Walaupun kau tua asal kaya raya.

Pagi berenang, sore jalan-jalan,

Keluar masuk disko dan restoran,

Baju satu made in Japan,

Sekali pakai, lalu kubuang,

Mumpung banyak uang, sambil tunggu warisan.”

“Wew lagu apaan nih?” ujarku begitu sadar bahwa selain suara penyanyinya yang super unik, isi lagunya ternyata juga benar-benar edan.

“Parodinya Gubuk Derita, Gubuk Derita versinya PMR ini. Asyik Tut!” Gimbal berseru sambil tanpa malu mulai bergoyang mengikuti irama dangdut edan itu.

“Ikut goyang Gas! Ayo! Dance! Dance! Come on!” Itut mengajak. Dia sendiri sudah bergoyang asyik, begitu pula dengan Si Doel.

Aku tersenyum. Memang nggak bisa bertingkah normal kayaknya kalau di dekat teman-temanku ini. Isinya edan-edanan melulu. Yah, nggak ada salahnya kan sekarang ikut goyang dangdut. Mumpung masih disini, belum balik ke Tangerang. Maka, akupun ikut bergoyang mengikuti irama.

“Jah! Ada yang seru gini nggak ngajak-ajak!” Terdengar seruan bersemangat dari pintu masuk. Si Muk datang bersama Ableb dan Kosa. Langsung tanpa basa-basi ikut mencak-mencak bersama kami.

Sementara itu, lagupun berganti…

Nah, abang pulang, bakul nasi goyang-goyang

Dik, abang pulang, dari kota pulang kandang

Abang bawa apaan?

Abang bawa bungkusan

Bungkusannya apaan?

Beginian…

“Jah! Lagunya Benyamin S. juga ada Tut?” seruku takjub, langsung mengenali duet mendiang Benyamin Sueb dan Ida Royani yang ini. Darimana si Itut dapet lagu-lagu tua gini?

Temen-temenku tampak nggak pada peduli darimana si Itut bisa mendapat lagu-lagu kuno kayak begini. Tetep asyik saja mereka berjoged. Dan makin lama makin banyak yang datang dan ikut bergoyang bersama kami tanpa malu-malu. Gatot, Manno, Teguh, Ari Cacing, dan beberapa temen kami yang lain begitu datang, langsung saja ikut beraksi bersama kami. Ruangan di rumah ini, biarpun cukup besar dan kosong karena nyaris tak ada furniturenya, jadi langsung tampak ramai banget.

Mana gaya joged teman-temanku ini pada tidak karuan lagi. Berantakan dan kacau banget, tapi juga benar-benar kocak. Bahkan entah bagaimana, beberapa saat kemudian, joged kami berubah menjadi goyang poco-poco yang seragam, dengan barisan yang cukup rapi, mengikuti gerak Manno yang secara alami sudah dianggap jadi pemimpin joged ini. Tapi joged poco-poco kami ini, gerakan kakinya saja yang seragam, tubuh atas dan tangannya pada bergerak nggak karuan.

“One day in the year of the fox, came a time remembered well,

when a strong young man of the rising sun…“

Lagu kini berubah menjadi slow rock, Temple of The Kingnya Rainbow. Tapi tanpa peduli, kami asyik meneruskan goyang kami, hanya sedikit menyesuaikan beatnya saja.

Suara cekikikan di pintu masuk membuatku menoleh ke arahnya. Kepik dan Didid, yang membawa gitar, berdiri di pintu masuk, geleng-geleng kepala melihat tingkah kami. Disamping dan belakang mereka, Ari, Wulan, Menil, Dyah, dan Lia turut menonton kami sambil ketawa cekikikan. Kami pasti kelihatan kocak banget menari serempak dengan gerakan menggelikan begini.

Tapi, ditonton begitu, temen-temenku pada nggak jadi keder, malah pada makin edan-edanan geraknya. Exhibitionist[1] semua anak-anak ini.

“Ikutan Pik! Did! Sini! Kenapa? Takut yah?” Si Doel memanasi Kepik dan Didid.

Menanggapi ucapan Si Doel itu, Didid mengulurkan gitar yang dipegangnya ke Lia dan langsung bergabung dengan kami. Kepik menatap kami sejenak, mengangkat bahu, dan akhirnya ikut juga berjoged bareng kami.

Lagu kini berubah lagi. Irama yang keluar di intro ini… ini lagu lamanya Europe, The Final Countdown. Busyet, acak bener susunan lagu di CD Itut. Manno yang memimpin joged, mengangkat tangan kirinya tinggi dan diam tak bergerak, berlagak jadi dancer professional yang akan memulai tariannya dangan teknik diam, freeze.

Kami semua mengikuti Manno, beku dengan gaya masing-masing. Beberapa sok keren, beberapa lainnya benar-benar super konyol. Dan begitu intronya mulai menghentak, semuanya mulai bergerak… berjingkrak-jingkrak di tempat dengan gaya hard rock.

We’re leavin’ together, but still it’s farewell,

and maybe we’ll come back, to earth who can tell,

I guess there is no one to blame,

We’re leavin’ ground… (leavin’ ground).

And things will never be the same again.

It’s the Final Countdown…

The Final Countdown…

Terdengar suara jepretan dan kejapan sinar blitz menerangi ruangan ini beberapa kali. Busyet. Menil mengambil foto kami sambil cekikikan. Tadi berlari ke rumah ngambil kamera dia tampaknya.

Diambil gambarnya macam begitu, bukannya malu, kami malah semakin edan-edanan jingkrak-jingkraknya. Benar benar exhibitionist semua kami. Yang nonton tambah banyak dan pada ngakak semuanya.

Final Countdown usai. Irama menghentak dan suara Melly Goeslaw keluar dari speaker menggantikannya. Ini… Mak Comblang dari Potret.

Satu saat aku disuruh kirimin surat,

untuk seseorang di satu alamat rumah,

karna temanku lagi kasmaran padanya,

tapi tak berani jadi aku yang disuruh…

Kami terus berjingkrak-jingkrak bersemangat. Keringat bercucuran di sekujur tubuh kami. Gila. Ini sih kayak olahraga. Bisa diduga, karena begitu banyak bergerak, kami jadi merasa kian gerah saja.

Si Doel pertama-tama yang menyerah akan panasnya suasana… dengan melepas kaos, menunjukkan badannya yang penuh tattoo gambar kartun. Teman-temanku yang lain segera mengikuti contohnya. Wew. Jadi strip tease ini.

“Iiih! Pada nggak tahu malu ah!” Wulan berkomentar.

“Kan keren. Binaraga nih!” Ari Cacing berkata, memamerkan badan kurus keringnya dengan lagak seorang binaraga.

“Binaraga? Binarangka kali,” sahut Wulan membalas.

Lirikan matamu menarik hati,

Oh senyumanmu, manis sekali,

Sehingga membuat aku tergoda,

Sebenarnya aku ingin sekali,

Mendekatimu memadu kasih,

Namun sayang-sayang malu rasanya,

Biar kucari nanti caranya…

Lagu sudah berganti lagi. Kali ini dangdut kontemporer lagu Pengalaman Pertama yang dinyanyikan mendiang Chrisye. Jingkrak-jingkrak kami berubah lagi jadi goyang dangdut poco-poco yang seragam gerakan kakinya. Ternyata gerakan langkah poco-poco tak sesulit yang kukira. Ini baru pertama kalinya aku ikut tapi aku bisa juga cepat menyesuaikan langkah.

Setelah pengalaman pertama Chrisye, lagu berikutnya adalah Disco Lazy Timenya Nidji.

Wake me up tonight, drive me to the sound,

Sleep with me tonight , she’s my lovely wife,

Nothing is forever, nothing is for real…

“Kumpul! Kumpul sini!” Gimbal memberi isyarat. “Bikin menara cheerleader!”

“Aku di atas!” sahut Si Muk, langsung ditanggapi dengan jitakan banyak orang. Enak saja, badan segede itu mau diatas.

Teman-temanku lantas mencoba membuat tower seperti yang biasa dilakukan cheerleader. Kosa, Si Muk, Gimbal, dan Manno di paling bawah. Di atasnya Ari Cacing, Si Doel, dan Kepik. Kemudian rencananya, Didid mau naik paling atas, tapi baru saja Didid mau memanjat, yang dibawah sudah nggak kuat lagi, tower nanggung itu langsung ambruk dengan teman-temanku bertumpang tindih nggak karuan.

Kami yang kebagian menonoton langsung ketawa ngakak menyaksikan hal itu. Menil langsung beraksi, kameranya menjepret beberapa kali, mengambil gambar kocak pemuda-pemuda bertelanjang dada yang saling bertumpang tindih nggak karuan.

“Malu-maluin ah kalian! Para cheerleader cewek saja kuat bikin tower, masa cowok-cowok seperti kalian nggak bisa.” Lia berkomentar.

“Coba lagi! Coba lagi!” Kesal diejek begitu, teman-temanku bangkit dengan susah payah dan akan mulai mencoba membuat tower lagi. Tapi…

“Yaaaa…!” Lampu mendadak mati. Seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Suara musik juga berhenti tiba-tiba.

“Edan! Oglangan[2] pas waktu begini,” maki Kepik.


[1] Orang yang suka ditonton/orang yang suka beraksi di panggung.

[2] Mati lampu

{Bab 7} – Cinderlala

2 Responses to “Bulan dan Matahari (Bab 6)”

  1. Artanam Says:

    hasilnya jepretannya di upload donk sir


Leave a comment