VII.     Cinderlala

Selasa. Bulan Juli. Siang hari.

Itut dan aku sedang duduk di bangku bambu di depan rumah Budhéku, asyik menyantap siomay, ketika kedua pengacau itu datang, mengusik ketenangan dengan suara super berisik vespa yang mereka kendarai.

“Tut! Lagi nganggur kan? Bantuin kita dong!” Belum lagi turun dari vespa, Gimbal, si pengendara vespa itu, langsung minta bantuan.

“Siomay Bang! Dia yang bayarin.” Lain lagi makhluk aneh tambun yang diboncengnya ini. Nggak pake basa-basi langsung saja dia mesan siomay dan maksa Itut yang ditunjuknya untuk traktir dia.

“Bayarin dengkulmu péyang Muk!” Itut langsung protes. “Bayar sendiri napa?”

“Udah sering aku makan bayar sendiri,” Si Muk menjawab cuek. “Ditraktir dikau itu aku yang jarang. Sekali-sekali lah.”

“Aku juga dah kalau gitu. Satu porsi Mas! Campur. Itut yang bayarin,” tambah Gimbal tanpa sungkan.

Belum juga Itut sempat protes, Gimbal sudah ngomong lagi, “Soal pesta di tempat Saphat ntar malem nih Tut! Aku kan dimintain tolong nyusun acara nih. Bantuin bikin acara yang seru dong. Biasa punya ide gila kan kau.”

“Si Muk yang sering ngisi acara tuh,” jawab Itut kesal. “Punya banyak stok game kan dia?”

Aku geleng-geleng kepala tak percaya. Aku tahu pesta yang mereka maksud, pesta ulang tahun beberapa anak KOST di bulan ini. Aku juga diundang kok. Tapi, nanti malem sudah mulai pestanya, baru sekarang minta tolong nyusun acara. Kacau dua anak ini.

“Game banyak emang, tapi terlalu biasa. Udah sering semua,” sahut Si Muk. “Kita pengennya bikin yang baru, unik, orisinil dan kocak abis. Soal rencana edan-edanan kan dikau masternya. Ada ide?”

“Hemm… Bikin drama parodi satu babak gimana?” usul Itut

“Tanpa latihan?” Gimbal spontan menanggapi. “Acaranya ntar malem, Nyong.”

“Kalo didubbing, tanpa latihan juga bisa. Kayak waktu kita bantuin Lincaknya si Torong waktu itu. Lagian kalo parodi salah juga nggak apa-apa. Tambah seru malah,” ucap Itut ringan. Anganku langsung saja melayang ke pengalaman pertamaku bantuin drama ‘Hanoman Mencari Cinta’ waktu itu.

“Ada naskah?” Si Muk nanya.

“Bikin sekarang juga bisa. Mau kubikinin?”

“Jelas dong,” kata Gimbal. “Minta kertas Gas. Ada?”

“Bentar!” Aku meletakkan piring siomaiku dan melangkah masuk rumah, mengambil sebatang pulpen dan beberapa lembar kertas HVS dari meja komputer Mas Angga. Lantas, akupun melangkah keluar kembali.

“Nih!” ujarku, mengulurkan barang yang kubawa ke Itut. Itut meletakkan piring siomainya dan tanpa basa-basi mulai menulis, dengan kecepatan gila-gilaan, seolah tak perlu dipikir dahulu.

“Oi… Pakai dalang kan Tut? Kasih ucapan komentatornya dong. Jangan cuma dialog pemain!” usul Gimbal.

“Ngerjain pemain aja Tut! Dikacauin endingnya,” Si Muk ikut-ikutan ngasih usul.

Aku berdiri di belakang Itut, membaca apa yang ditulisnya. Nggak nyangka, tulisan si Itut bagus juga. Tapi, isi drama yang dibikinnya… wew. Aku baca naskahnya saja sudah cekikikan. Bayangin nanti wujud dramanya, aku sampai sakit perut menahan ketawa.

oooOOOooo

Selasa. Bulan Juli.

Akhirnya, malam pun tiba. Pesta di rumah Saphat pun sudah dimulai. Meriahnya… gila. Yang dateng limapuluh orang lebih ini, bahkan enampuluhpun mungkin lebih juga. Bisa diduga sih. Ini pesta ulang tahun empat orang temen kami yang kebetulan hari jadinya berdekatan. Disatuin jadi pesta besar-besaran. Seru abis.

Permainan dan nyanyi-nyanyi dilangsungkan berturut-turut. Seru dan penuh tawa. Lalu, jatah acara yang kami susun tadi siang pun tiba, dimulai dengan penarikan undian.

Undian ditarik dan… enam orang dapet door-prize. Hadiah door-prizenya… berhak menjadi pemain drama yang kami dubbing. Wakakakak… Itu sih hukuman kali ya?

“Ehem!” Si Muk berdehem. Megang mike dia. “Jadi begini saudara-saudara. Keenam sobat kita ini telah terpilih… untuk memerankan drama parodi karya Mas Itut yang berjudul Cinderlala. Parodi dari kisah Cinderella. Jadi, pertama kita pilih dulu perannya. Oke?”

Sorakan riuh setuju menyambut ucapan MC tambun ini. Oh ya, enam orang yang terpilih adalah: lima cowok… Birbin, Ableb, Zhito, Kepik, Gatot; dan satu cewek… Chica.

“Pemeran Cinderlala… Chica aja, yang namanya sama-sama diawali ci, setuju?” Si Muk mengumumkan. Sorakan setuju terdengar.

“Ibu tiri… Gatot.” Koor setuju kembali terdengar. Gatot mengacungkan kepalan tangannya ke penonton dengan kesal. Para penonton malah ketawa saja melihatnya.

“Pangeran… Birbin?” Setuju lagi.

“Saudari tiri satu, Zhito. Saudara tiri dua, Kepik. Gimana?” Tawa riuh menyambut usul ini.

“Ah, jangan gichu dong. Eike kan jadi malyu,” Zhito menanggapi, bergaya bencong. Memancing tawa lebih kenceng.

“Idiihh… Om Muk gitchu deh,” Kepik menambahi dengan gaya yang sama ajaibnya. Sorakan liar semakin bergema.

“Jadi keputusannya… Ableb telah terpilih menjadi ajudan sang pangeran. Tepuk tangan saudara-saudara!” seru Si Muk menyimpulkan. Ableb membungkuk anggun, berlagak seolah baru memenangkan piala Nobel. Sorakan riuh menyambut gayanya itu.

“Ehem! Ehem!” Si Muk berdehem lagi. “Jadi saudara-saudara, dengan ini saya nyatakan bahwa drama Cinderlala dimulai…”

“Di suatu negeri yang sangaaaatt jauh. Tersebutlah seorang pangeran yang sedang galau hatinya.” Gimbal mengambil alih, bergaya seorang pendongeng profesional. Jadi dalang dia tugasnya. Aku dan Itut mengiringinya dengan gitar di tempat duduk kami masing-masing, diantara penonton. Iringan kacau juga sih sebenarnya. Dia main lagu apa, aku main lagu apa… nggak nyambung. Tapi Gimbal tadi bilang main sesukaku asal petikan, ya sudah. Yang penting ada suara iringan.

“Pangeran pun memasuki panggung cerita, diikuti sang ajudan,” Gimbal menambahi sambil memberi isyarat. Birbin pun melangkah angkuh ke tengah ruangan diikuti Ableb.

“Sang pangeran berpaling kepada ajudannya dan berkata: ‘Kemarikan sepatu kaca itu Ajudan!’”

Birbin bergaya, mengikuti ucapan Gimbal. Ableb kebingungan… nggak pegang sepatu apapun dia. Si Muk mendekatinya dan mengulurkan sebuah sepatu… sepatu bola, entah punya siapa itu.

“Busyet baunya,” Ableb mengambil sepatu itu dan menyorongkannya pada Birbin sambil menutup hidung. Birbinpun menerima sepatu itu satu tangan, dengan tangan lain memencet hidung.

Gimbal membuka suara lagi membaca dengan lagak puitis, “Sang pangeranpun berkata: Oh… putri cantik tak dikenal. Mengapakah dikau hanya singgah sesaat dalam hidupku yang suram? Mengapa? Mengapa dikau hanya meninggalkan sepotong sepatumu saja? Mengapa? Mengapa, ajudan?! Mengapa?!”

Mengikuti suara Gimbal yang kian histeris, Birbin mengguncang-guncang badan Ableb, yang mulutnya terkatup rapat menahan tawa. Sebaliknya, aku dan para penonton yang duduk di atas tikar, tak sungkan-sungkan mengekspresikan tawa kami. Ada beberapa malah, seperti Wulan yang duduk di sebelahku, yang sampai memukul-mukul lantai saking gelinya.

“… lalu sang pangeran pun mencium sepatu Cinderlala,” lanjut Gimbal.

Bukannya mengikuti apa yang diucapkan Gimbal, Birbin malah membanting sepatu itu dengan kesal dan menginjak-injaknya. Kontan, ketawa kamipun semakin menjadi-jadi. Aku sampai berhenti mengiringi karena tak bisa menahan ketawa.

“Pelanggaran! Pelanggaran!” Si Muk berseru, sambil ketawa juga. “Pemain harus mengikuti ucapan dalang dong.”

“Amit-amit jabang bayi deh. Ampe mati juga, nggak bakalan mau aku.” Birbin langsung berseru kesal. Yang lain tambah ngakak.

“Oke… oke! Lanjut Mbal!” Itut berseru menengahi.

“Singkat cerita, akhirnya sang pangeran dan ajudanpun sampai di tempat tinggal Cinderlala. Ibu tiri dan dua saudara tiri Cinderlala menyambut mereka.” Gatot, Kepik dan Zhito masuk dalam adegan kali ini. Lagak genit mereka sudah memancing tawa bahkan sebelum giliran mereka beraksi.

Gimbal melanjutkan, berucap dengan suara tinggi yang genit, “Sang ibu tiri bertanya: ‘Oh, pangeran nan rupawan, ada apakah gerangan dikau singgah di gubuk sederhana kami ini?’

Maka, sang ajudanpun menjawab tegas: ‘Wahai dikau para wanita! Pangeran sedang mencari permata hatinya yang hilang, sang putri malam yang hanya meninggalkan sepotong sepatunya di saat pesta dansa.’”

Cerita berlanjut. “Sang ibu tiri dengan genit menjawab, ‘Oh, daku juga merasa kehilangan sebelah sepatu kala pesta itu. Apakah dikau mencari daku, pangeran tampan? Atau mungkin kedua putriku yang jelita ini. Mereka juga kehilangan sepatu kok…’”

“Amit-amit jabang bayi,” gumam Birbin lagi, sambil mengelus-elus dadanya dengan muka memelas. Kami semakin tergelak melihatnya.

“Lantas,” Gimbal melanjutkan. “… merekapun mencoba sepatu tersebut satu persatu. Dan ternyata… semuanya cocok saudara-saudara. Ternyata ukuran kaki mereka semua sama.”

Wakakakaka… Semua penonton dan pemain melongo. Kacau jadinya perkembangan cerita drama ini.

“Saat terjadi kericuhan dalam perebutan sepatu butut tersebut, datanglah Cinderlala yang habis berbelanja dari pasar.”

Chica berdiri dan melenggang memasuki panggung. “Awas kalau ngerjain aku,” geramnya mengancam.

Gimbal tertawa, tanpa mengindahkan ancaman itu ia melanjutkan. “Melihat sepatu yang diperebutkan itu, sang Cinderlala berkata, ‘Walah… itu kan sepatu butut nenek yang kubuang waktu pesta dansa dulu. Udah bulukan gitu, kenapa sih pada diperebutkan?’”

Birbin melongo memandang sepatu yang sedang dipegangnya. Lalu, kembali dengan kesal ia membanting dan menginjak-injak benda itu. Kami tertawa ngakak sampai perut kami sakit semua.

“Akhirnya… setelah kerusuhan perebutan sepatu selesai, sang pangeran pun segera meminang Cinderlala. Ia merayu, ‘Wahai gadis jelita, bersediakah dikau menjadi permaisuriku dan menikah sekarang juga dengan daku?’” Birbin berlutut dan berlagak merayu mengikuti ucapan Gimbal.

“… Cinderlala dengan tandas menjawab… ‘Nggak mau ah. Diriku lebih memilih ajudan dikau saja. Menikah saja dengan salah satu saudaraku, Pangeran.’ Lantas iapun menggandeng sang ajudan dan membawanya pergi dari tempat itu.”

Dengan lega Chica lantas menggandeng Ableb dan menyeretnya pergi. Birbin kontan memaki panjang pendek ditinggal begitu. Punya ‘bad feeling’ dia sama perkembangan cerita selanjutnya. Dan ia seratus persen benar.

“Maka, daripada terus ngejomblo, sang pangeranpun memutuskan untuk memilih… memilih siapa saudara-saudara? Ibu tiri, saudara tiri satu, atau saudara tiri dua?”

“Ibu tiri! Ibu tiri! Gatot oi! Gatot!”

“Saudara satu! Zhito! Zhito!”

“Kepik saja! Saudara tiri dua! Biar Ari cemburu.”

Seruan riuh menyambut pertanyaan Gimbal tadi. Semuanya pada bersorak-sorak mengusulkan. Melihat tampang kesal keempat pemain drama yang tersisa, aku jadi ketawa cekikikan, nggak konsentrasi lagi main gitar.

“Oke! Oke! Tenang saudara-saudara.” Gimbal berseru menenangkan “Akan daku sampaikan akhir cerita parodi ini kepada kalian. Tenang saja.”

“Maka, daripada terus ngejomblo, sang pangeranpun memutuskan untuk memilih…” Gimbal menahan kata-katanya, terdiam beberapa lama.

Irama iringan yang dimainkan Itut… wakakaka… irama tegangnya kuis ‘Who Wants to be a Millionaire’. Aku segera mengubah petikan gitarku, menyesuaikan dengan iringan gitar Itut.

“Yang dipilih sang pangeran adalah… ibu tiri Cinderlala. Dan iapun memberinya ciuman mesra…”

Sambil ketawa ngakak, kamipun bersorak. “Cium! Cium! Cium!”

One Response to “Bulan dan Matahari (Bab 7)”

  1. Artanam Says:

    wakakakak… mantep nih kalo dibawain tujuh belasan…


Leave a comment