PROLOG

Altair memasuki koridor Aula Seraphim dengan jantung berdebar-debar penuh semangat. Keindahan koridor raksasa yang putih mengkilap, disangga pilar-pilar besar yang dililit tanaman merambat dari kristal warna hijau bening, tak dipedulikan sama sekali olehnya. Benaknya saat ini sudah terlalu dipenuhi oleh semangat, kegelisahan, dan kegembiraan yang bercampur aduk tak karuan.

Altair, malaikat remaja berbadan kecil ini, tak bisa berhenti menyeringai gugup. Ia salah satu dari tiga malaikat muda yang baru saja lulus dari Akademi Cherubim kemarin. Ia bukan lagi malaikat biasa, tapi sudah menjadi cherub, malaikat tempur. Dan hari ini ia akan berhadapan muka dengan tiga seraph utama, Mikhael, Azrael, dan Gabriel untuk menerima tugas pertamanya. Tak bisa dikendalikannya, jantung malaikat muda ini berdegup semakin kencang.

“Santai saja Alti, jangan terlalu tegang. Miki, Azri dan Gabi tidak semenyeramkan yang mereka bilang kok.” Uriel, cherub pembimbingnya berkata kalem. Tapi ucapannya itu bukannya membuat jantung Altair semakin tenang, malahan membuat debarannya semakin parah. Malaikat pirang pembimbingnya yang satu ini terkenal sering terkena masalah gara-gara kebiasaannya memberi nama panggilan seenaknya pada siapa saja. Bagaimana coba kalau ia nanti menyinggung perasaan para malaikat utama itu?

“Kau menyebut Mikhael seperti itu kalau didepannya, Guru Uriel?” Vyos, malaikat muda berambut pendek keperakan di sisi kiri Altair bertanya riang, tak tampak gugup sama sekali. Jauh berbeda dengan Altair dan rekan cherubnya yang satu lagi, Firea.

“Tentu saja Osi. Apa yang aku katakan akan tetap sama siapapun yang mendengarnya. Itu prinsip, kau tahu? Prinsip!”

“Karena prinsip konyol itulah kau selalu dapat masalah Yah,” gerutu Firea tanpa sungkan. Gadis tomboy berambut pirang ini selalu bersikap kasual terhadap ayah sekaligus guru pembimbingnya itu.

“Masalah itu untuk dihadapi, bukannya dijauhi Firi sayang,” jawab Uriel santai, mengedipkan mata riang ke putrinya.

“Entah mengapa kau dulu memberiku nama Firea kalau kau tak pernah menggunakannya untuk menyebutku,” gerutu Firea semakin kesal.

Sementara itu, keempat malaikat itu sekarang sudah memasuki gerbang aula Seraphim.

“Ini memang peraturan yang tak masuk akal dan tidak praktis, tapi tetap saja di aula ini kalian wajib menunjukkan sayap kalian,” kata Uriel sambil meringis enggan. Sepasang sayap putih kebiruan muncul entah darimana di punggungya, mengembang lebar sesaat lalu terlipat, tapi tidak menghilang.

Altair, Vyos dan Firea mengikuti tindakan Uriel, memunculkan dan mengembangkan sepasang sayap mereka masing-masing. Sayap Altair berwarna mirip warna rambutnya, mengkilap hitam kemerahan, tampak sangat kontras dengan sayap Vyos yang putih perak. Sayap Firea berwarna mirip dengan milik ayahnya, putih kebiruan.

Ditengah-tengah Aula Seraphim yang megah itu, tiga sosok malaikat perkasa, yang masing-masing memiliki tiga pasang sayap, berdiri tegak menunggu. Kalau tak melihat sayapnya, mereka sekilas nampak seperti para bisnisman manusia, rapi berjas dan berdasi. Jauh sekali bedanya dengan Altair dan kedua rekannya yang memakai pakaian kasual, T-shirt, celana jeans, dan sepatu olahraga. Apalagi kalau dibandingkan dengan Uriel yang berbaju pantai gombrong dengan celana kolor selutut dan sendal jepit.

Altair memperhatikan ketiga malaikat itu dengan kagum. Mereka benar-benar layak disebut ketiga malaikat utama. Mikhael yang berada di tengah-tengah punya wajah yang berwibawa dengan rambut, kumis dan berewok ikal berwarna pirang gelap. Tubuhnya tegap kekar, tampak menakjubkan dengan sayap-sayap emasnya. Gabriel di sebelah kanannya lebih ramping, tampak sangat tenang dan sabar. Wajahnya yang bersih tanpa kumis maupun jenggot tampak masih muda dan sangat tampan. Rambut pendeknya, seperti sayapnya, berwarna kuning pucat, hampir putih, sedang matanya tampak sangat biru. Azrael, di sisi kiri Mikhael, tampak sangat serius dan keras hati. Ia berkumis tipis, berambut hitam panjang, lurus sampai hampir mencapai pinggang. Sayapnya hitam kelam dan mengkilap.

“Altair, Vyos, dan Firea…” Mikhael memanggil ramah. “Selamat atas kelulusan kalian dari Akademi Cherubim. Dan kau Uriel, lama tidak jumpa, Sobat!”

“Yo, Miki! Juga Gabi dan Azri. Kalian tampak semakin hebat saja,” Uriel menyapa ringan.

Disapa seenaknya seperti itu, Gabriel, Mikhael dan Azrael tak tampak tersinggung. Mikhael malah tertawa senang. “Kau masih tak juga berubah Uriel,” ucapnya.

“Cukup basa-basinya, Mikhael,” Azrael memotong dengan raut muka serius. “Kita tak punya banyak waktu. Kita sedang dalam masalah besar sekarang.”

“Benar kata Azrael ini,” Mikhael berkata serius kini. “Kita dalam masalah besar. Lucifer membuka lima gerbang iblis lagi di dunia manusia.”

Sebuah bola dunia besar yang transparan muncul di tengah-tengah mereka.

“Satu di Los Angeles, Amerika.” Mikhael menunjuk, dan satu tempat di globe besar itu tampak berpijar.

“Yang lainnya di… La Rochelle, Prancis.” Kembali satu tempat di globe menyala. “Tripoli, LibyaJakarta, Indonesia… dan Alice Springs, Australia.” Berturut-turut tiga posisi lain menyala di bola dunia tersebut.

“Total sudah ada seratus delapan gerbang iblis yang muncul di dunia manusia,” kata Gabriel tenang. “Lucifer dan Satan benar-benar memaksa kita untuk bekerja keras dalam tiga bulan ini.”

“Benar, kalau dihitung dengan tambahan  serangan-serangan agresif ke perbatasan dunia iblis-malaikat… kesimpulannya cuma satu, kita benar-benar dalam masalah besar,” ucap Mikhael menyetujui.

“Kita kekurangan cherub dan virtue,” kata Azrael.

“Juga einheirjar,” tambah Gabriel. “Mereka yang sudah berada di surga tak bisa kita kirim kembali ke dunia manusia.”

“Singkatnya, tugas kalian para cherub baru adalah menangani tiga dari gerbang neraka ini,” Azrael menunjuk globe di depannya.

Mikhael mengangguk menyetujui. “Jadi… Vyos, kami menugaskanmu di Los Angeles. Firea, kau di Alice Springs. Dan Altair, kau tangani yang di Jakarta.”

“Uriel, maaf Sobat Lama. Masa pensiunmu untuk sementara dibatalkan. Kami minta bantuanmu untuk yang di Tripoli,” katanya kemudian. “Aku sendiri akan turun ke La Rochelle.”

“Tidak masalah Miki,” jawab Uriel kalem. “Jadi, siapa virtue kami masing-masing?”

Ketiga malaikat utama saling berpandangan sejenak. Akhirnya Gabriel berkata, “Itu masalahnya, Uriel… Seperti yang disebutkan Azrael tadi, kami kehabisan virtue. Kalian harus menjadi cherub sekaligus virtue.”

“O… oi… Gabi, yang benar saja! Kami tak pernah menjalani pelatihan virtue,” Uriel langsung memprotes, menyuarakan kecemasan ketiga muridnya.

“Tak ada pilihan lain Uriel,” jawab Gabriel sedih. “Kalian harus menjadi virtue atau kalian bertarung sendirian. Kami benar-benar kekurangan virtue. Kami bahkan tak punya kadet virtue lagi. Kami sudah mengirim seluruh siswa dari Akademi Virtues ke bumi.”

“Em… tugas virtue yang paling utama memilih einheirjar kan?” Vyos membuka mulut, bertanya. “Bagaimana caranya?”

Gabriel yang menjawab, “Sebenarnya ini tugas yang cukup rumit dan butuh banyak sekali pengetahuan dan pelatihan mental, tapi karena situasi terpaksa… Yah, sederhananya begini Vyos, kau tahu bahwa virtue sering disebut sebagai malaikat kematian kan? Sebutan yang tak menyenangkan memang. Dulu, virtue yang wanita disebut valkyrie oleh bangsa Viking, istilah yang jauh lebih menyenangkan sebenarnya. Tapi, kembali ke intinya, sebenarnya, walaupun dipanggil malaikat kematian, virtue tak berkaitan apapun dengan kematian itu sendiri. Mereka tak menyebabkan kematian, itu yang perlu ditekankan disini.”

Ia melanjutkan, “Virtue bertugas untuk menemui jiwa manusia yang sudah meninggal, jiwa yang mempunyai kekuatan tinggi tentunya. Kemudian virtue memberi tawaran kepada jiwa itu untuk bertarung bersama para malaikat sebagai einheirjar. Kalau diterima, virtue akan memberikan kekuatan einheirjar pada jiwa tersebut. Kalau ditolak, ya tak apa-apa, jiwa tersebut boleh melanjutkan perjalanannya ke alam baka.”

“Bagaimana mengetahui jiwa manusia pantas menjadi einheirjar atau tidak?” Vyos bertanya lagi.

“Semua malaikat punya kemampuan alami untuk menilai kekuatan jiwa manusia. Untuk kualitas karakternya, virtue biasa menggunakan kekuatan Cincin Librae,” jawab Gabriel.

“Sepertinya tidak terlalu rumit,” kata Vyos tenang. “Kalau bisa sih aku sebenarnya ingin menjalankan tugas cherub saja yang lebih sederhana, tapi kalau terpaksa… yah sekalian jadi virtue sementara juga nggak apa-apa lah.”

“Bagaimana dengan kalian?” Gabriel menanyai Altair, Firea dan Uriel.

“Kalau terpaksa, mau bagaimana lagi,” jawab Altair sambil mengangkat bahu. Sebenarnya ia tak nyaman dengan tugas baru itu, tugas yang sama sekali asing dari apa yang dipelajarinya selama ini. Tapi, tak ada pilihan yang lebih baik…

“Sepertinya tak masalah bagiku,” lanjut Firea.

“Jadi, Uriel?”

“Kalau murid-muridku saja sanggup, masa aku tidak?”

Gabriel mendekati mereka dan mengulurkan tangan. Di telapak tangan kanannya yang terlentang, muncul empat cincin perak. “Ini Librae, cincin penilaian dan kekuatan. Virtue biasa menggunakannya untuk membantu menilai kualitas para calon einheirjar, sekaligus membangkitkan kekuatan tempur jiwa mereka.  Ambillah!”

Altair, Vyos, Firea dan Uriel mengambil cincin itu masing-masing satu dan memakainya di jari mereka.

“Ada pertanyaan lagi tentang tugas kalian?” Mikhael bertanya. “Kalau tidak ada… selamat menjalankan tugas, Cherub!”

Uriel dan ketiga anak didiknya membalikkan badan dan langsung melangkah menuju pintu keluar aula Seraphim itu, menuju bumi untuk menunaikan tugas mereka…

Leave a comment