II.        ALPH, SANG PENJAGA MUDA

Alph, bocah manusia

Hari masih siang, tapi suasana sudah nampak remang seperti sore hari saja. Alph, yang melangkah pulang dari sekolah seorang diri, menatap langit mendung di atasnya dengan muram. Ia semakin mempercepat langkah kakinya sambil terus berharap semoga hujan tidak turun, paling tidak sampai ia sudah terlindung di dalam rumah.

Harapan Alph tidak terkabul. Rintik hujan mulai turun dan dalam beberapa saat saja sudah berubah menjadi hujan deras. Sambil berlari, Alph melepas tas ranselnya dan mendekapnya di dada, melindunginya dari guyuran hujan. Teringat ia akan pesan neneknya tadi pagi supaya ia tidak lupa membawa payung. Menyesal ia mengabaikan nasehat itu.

Untung saja rumah tempat tinggalnya sudah dekat. Tak sampai lima menit, anak itu sudah terlindung di dalam rumah. Hanya saja, tubuhnya sudah terlanjur basah kuyup dari kepala sampai kaki.

“Alph! Ya ampun ini anak. Basah kuyup begitu!” Nenek Alph yang melihat keadaan anak itu langsung berseru cemas. “Buka baju sana! Dan cepat mandi! Keramas sekalian. Sakit kamu nanti.”

“Ya Nek,” Alph menjawab patuh. Ia sangat menyayangi dan menghormati neneknya, satu-satunya keluarga terdekatnya yang tersisa. Dan Neneknya memang patut disayangi dan dihormati. Lihat saja, ia tidak mengomeli anak itu. Juga tidak menyalahkannya karena tidak membawa payung seperti yang sudah dinasehatkannya.

Dengan cepat Alph membuka pakaian dan masuk kamar mandi, menyiram badannya dengan air dari shower. Air shower yang biasanya terasa dingin itu kini terasa hangat. Mungkin karena tadi ia sudah diguyur air hujan yang lebih dingin menggigit.

Tak berapa lama, Alph sudah keluar kamar mandi. Dengan hanya terbalut handuk, ia memasuki kamarnya dan membuka lemari baju, mencari pakaian kering. Tapi gerakannya terhenti karena suara cekikikan yang terdengar di belakangnya.

Alph menoleh cepat. Tak kelihatan ada orang sama sekali di belakangnya. Sambil mendesah kesal, ia melangkah ke sisi lain tempat tidur dan mengulurkan tangan. Waktu menariknya kembali, bocah itu sudah mencengkeram kerah sesosok anak perempuan kecil yang tingginya mungkin cuma setengah tinggi badan Alph. Tubuh anak perempuan itu tampak sangat ringan karena Alph dapat mengangkatnya dengan satu tangan.

“Fay, kau keluar dari duniamu seenaknya lagi?” Alph berkata kesal.

“Kan Fay ingin ketemu Alph,” kata anak perempuan itu dengan tampang bandel. Anak itu tampaknya bukan manusia. Ia cantik, tapi kecantikannya aneh. Ia memiliki warna kulit cerah, mata lebar dengan bola mata warna hijau terang, rambut lurus panjang merah menyala, dan telinga panjang meruncing. Ia mengenakan pakaian hijau model pemburu kuno. Ia memang bukan manusia. Ia elf.

Alph mengangkat anak itu di kerah tengkuknya seperti memegang anak kucing dan membuka pintu kamar. Ia meletakkan anak itu di luar kamar.

“Tunggu disitu sampai aku ganti baju,” ucap Alph tegas.

Alph cepat menutup kembali pintu kamarnya, dan bergegas ganti pakaian. Ia memilih kaus biru tanpa gambar dan celana jeans warna biru kusam.

Begitu ia keluar kamar, Fay si elf kecil langsung melompat dan bergelayut riang di tangan kanan Alph.

“Nek, si Fay di sini nih,” Alph berseru ke neneknya waktu ia melihat perempuan tua itu di dapur.

“Nenek!” Fay dengan riang melompat turun dari tangan Alph dan melompat-lompat ke arah Nenek.

“Halo Fay!” Nenek menyapa lembut, tak nampak heran. “Mau kue?” Ia menawarkan, mengulurkan sepiring kue.

“Mau!” Dengan riang Fay langsung mengambil sepotong kue.

Sementara itu Alph sudah mengumpulkan pakaian basahnya dan memasukkannya di mesin cuci. Ia juga sudah membuka tasnya dan mengeluarkan isinya, memisahkan buku yang agak basah dengan yang kering. Ia mengambil salah satu buku tulis dan membawanya ke meja makan.

“Mau ke dunianya Fay, Alph?” Nenek bertanya kalem.

“Boleh Nek?” Alph bertanya sopan.

“Iya. Tapi kerjakan dulu pe-ernya.”

“Tentu saja Nek. Tunggu ya Fay. Cuma dikit pe-er matematikanya kok,” ucap Alph, duduk di meja makan sambil mulai mengerjakan PR.

Nama lengkap Alph adalah Alpharion Yudha. Saat ini, ia baru berusia sepuluh tahun, kelas lima SD. Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan waktu ia masih TK. Sejak itu ia tinggal dengan kakek neneknya. Tapi kakeknyapun meninggal dua tahun lalu. Praktis sejak saat itu Alph hanya tinggal berdua dengan neneknya.

Keluarga Alph turun temurun memegang salah satu dari kesembilan kunci rahasia gerbang ajaib menuju dunia lain, Raea. Keluarga ini, sejak jaman kerajaan-kerajaan dulu kala, sudah dikenal oleh beberapa orang tertentu sebagai Para Penjaga. Setelah ayah dan kakeknya meninggal, sekalipun usianya masih begitu muda, sebagai satu-satunya keturunan langsung laki-laki yang ada, Alph memegang tugas sebagai Sang Penjaga.

Menjadi Penjaga bukan hal mudah. Alph harus sering mengorbankan waktu yang seharusnya dipakai bermain dengan teman-temannya demi menjalankan tugasnya. Demi menjalankan tugasnya itu ia sampai harus berperan sebagai anak yang penyendiri, sakit-sakitan, dan sulit bergaul di sekolahnya. Wajar, karena sebagai Penjaga, Alph harus sering keluar masuk Raea, Dunia Keajaiban yang dijaganya, kadang sampai berhari-hari, dan sedapat mungkin itu harus dirahasiakannya dari orang lain.

Di dunia yang dijaganya itulah ia bertemu dengan Fay, gadis elf kecil yang langsung menjadi sangat akrab dengannya. Seperti Alph, Fay juga yatim piatu. Ia berusia sepuluh tahun juga, sama seperti Alph. Namun ia selalu bersikap manja seolah Alph adalah kakak yang jauh lebih tua darinya.

Begitu selesai mengerjakan pe-er, Alph cepat berdiri dan merapikan bukunya.

“Selesai. Aku pergi dulu Nek,” Alph berseru berpamitan.

“Bawa makanan yang di meja Alph. Sudah Nenek bungkusin tuh,” balas Nenek dari dapur.

“Iya Nek,” sahut Alph, mengambil bungkusan nasi yang di meja. “Ayo Fay!” ajaknya sambil berjalan menuju kamar tidur.

“Dah Nenek,” Fay berseru riang dan melompat-lompat mengikuti Alph.

Begitu sampai di kamar, Alph menarik keluar sebuah peti kayu dari kolong tempat tidurnya. Ia membuka peti itu dan mengeluarkan sebuah kunci kayu besar. Lalu iapun, dengan sembarangan saja, menusukkan kunci itu ke satu arah dan memutarnya ke kanan.

Suara mendesing pelan terdengar. Terbuka lubang lebar di udara, bercahaya keperakan. Tanpa ragu, Alph melangkah memasuki lubang keperakan itu, diikuti Fay.

Dalam sekejap kedua anak itu telah berpindah tempat. Mereka sekarang berada di tepi sungai yang jernih, dibawah pohon besar yang sangat rindang. Langit cerah tanpa mendung sedikitpun, jauh berbeda dengan dunianya Alph. Daun-daun di atas dan rumput kehijauan dibawah kaki mereka nampak bergoyang riang, menari diiringi hembusan angin sepoi-sepoi. Udarapun terasa sangat segar, jauh berbeda dengan udara di kota tempat tinggal Alph.

“OK. Waktunya kerja dulu Fay. Dari mana kau masuk ke duniaku?” Alph bertanya sambil memasukkan kunci ke saku celananya. Yang dimaksudnya dengan kerja adalah menutup lubang dimensi yang menjadi jalan masuk atau keluar dari dunia ini. Itulah tugasnya, memastikan Dunia Keajaiban Fay tidak dirusak dan diganggu oleh makhluk dunia lain, terutama bangsa manusia dari dunianya.

Fay melompat-lompat menjauh. “Fay nggak mau kasih tau. Itu rahasia Fay,” ucapnya bandel.

Alph mendesah. Ia tahu bahwa menjelaskan pada anak itu sampai mulutnya bengkak juga percuma saja. “Ya sudah Fay. Aku pulang saja kalau begitu.”

“Eh… Alph nggak mau main dulu sama Fay?” Fay bertanya kaget.

“Fay kan bisa ke tempatku lewat jalan Fay kesana tadi,” Alph berkata kalem, menahan kesalnya. “Kalau gitu kan aku nggak usah kesini lagi. Fay aja yang main ke Bumi.”

“Nggak mau,” Fay langsung berseru panik. Ia tidak terlalu senang dengan dunia Alph. Soalnya sebagai elf, ia punya kemampuan untuk mendeteksi bahaya, dan di Bumi, dirasakan banyak sekali bahaya mengancamnya. “Di dunia Alph banyak orang serem. Fay nggak mau ditangkap orang serem. Lagian, udaranya juga nggak enak.”

“Jadi, kau nggak mau orang serem datang ke dunia ini kan Fay?”

“Nggak,” jawab Fay langsung.

“Kalau gitu tunjukin bagaimana kau masuk ke Bumi. Biar aku bisa menutup jalannya,” bujuk Alph. Terakhir kali, bujukan ini berhasil pada Fay.

“Nggak mau,” ucap Fay keras kepala kali ini.

“Ya sudah,” Alph mendesah kesal. “Dadah Fay…!” Ia mengeluarkan kunci dari kantungnya dan mulai menggerakkan alat itu, hendak membuka jalan kembali.

“Nggak mau!” Fay langsung berlari dan melompat memeluk Alph. “Fay nggak mau Alph pergi.”

“Jadi Fay mau nunjukin jalannya?”

“Nggak mau,” kata Fay sambil menangis. “Nanti Fay nggak bisa ketemu Alph dan nenek lagi.”

“Fay,” Alph berkata tenang. “Aku kan sering datang kesini. Kau juga kan sering ketemu aku. Terus, kalau kau kepingin ketemu Nenek, aku kan bisa membawamu kesana.”

“Tapi kalau Alph nggak datang-datang seperti dulu, Fay kan kesepian,” Fay masih merengek.

Alph mendesah. Ia teringat beberapa waktu lalu. Karena sakit, cukup lama ia tidak mengunjungi dunia Fay. Ada hampir dua bulan. Dan begitu ia bertemu Fay lagi, anak itu tampak sangat kurus dan merana. Alph adalah satu-satunya teman baik Fay. Bangsa elf lainnya menjauhi anak itu karena rambut merahnya, yang menurut kepercayaan mereka, membawa kesialan. Makhluk-makhluk berintelektual lain juga, entah kenapa, menjauhi anak itu. Hanya beberapa yang tidak berkeberatan menerimanya. Tapi sedikit makhluk inipun karena terlalu sibuk dengan tugas-tugas mereka, tak bisa sering menemani Fay.

“Begini saja deh Fay,” Alph memutuskan. Ia mendudukkan Fay di atas batu dan mengeluarkan pisau saku dari kantungnya. Dengan pisau itu ia mengerat sebagian kecil pangkal kunci kayu ajaib yang dimilikinya.

Alph memberikan potongan kecil kunci kayu itu pada Fay. “Potongan kecil kunci gerbang dunia ini memang tidak bisa membuat liang dimensi sebesar kunciku. Tapi cukup bagimu untuk mengintip ke duniaku. Kau bisa mencari dan melihatku disana. Bagaimana?”

Fay nampak ragu-ragu memandangi potongan kayu di tangannya.

Alph mendesah lagi. “Fay, aku ini Penjaga. Kalau aku membiarkan jalan masuk yang kau temukan tetap terbuka, aku bukan seorang Penjaga yang baik. Nenek bilang, daripada bekerja setengah hati dalam hal yang menyangkut tanggung jawab besar, lebih baik tidak usah bekerja dan membiarkan orang lain yang lebih baik melakukannya. Kau tahu maksudnya?”

Fay menggeleng keras-keras.

“Maksudnya, kalau aku tak bisa menjadi Penjaga yang baik, aku harus menyerahkan kunci ini ke orang lain dan membiarkannya menjadi Penjaga.”

“Jadi Alph nggak pernah kesini lagi?”

Alph mengangguk lemah. Ia tidak berbohong. Nenek pernah bilang kalau ia mengetahui ada pintu dunia yang terbuka dan ia tak sanggup untuk menutupnya, ia harus menyerahkan tugasnya pada pamannya, saudara sepupu ayahnya yang tinggal di Bandung.

“Nggak mau. Fay akan tunjukkan pintunya pada Alph. Alph harus sering kesini. Fay nggak mau nggak ada Alph,” seru Fay langsung. Fay juga tahu kalau Alph tidak berbohong. Elf punya kemampuan untuk mendeteksi kebohongan.

“Tunjukkan jalannya Fay,” Alph berkata kalem.

Fay berlari ke satu arah. Alph cepat mangikutinya. Sebentar kemudian…

“Disini…” Fay menunjuk lubang hitam di sebuah batang pohon besar.

Alph mengangguk dan menusukkan kunci kayunya ke lubang itu dan memutarnya ke kiri.

Kriieeett…! Lubang hitam itu tahu-tahu mengkerut, dan begitu Alph menarik kuncinya, lubang hitam itu sudah tidak ada lagi.

“Sudah selesai,” ucap Alph tenang. “Jadi kita bisa main sekarang. Tapi tidak lama yah. Nanti aku harus menemui Tetua Chiron. Kau mau main apa Fay?”

Tetua Chiron adalah centaur yang sangat dihormati di dunia ini. Sudah sejak beberapa minggu ini Alph terus-terusan mengunjunginya, membicarakan sosok aneh yang selama ini muncul mengganggu ketentraman dunia itu. Sosok itu memang muncul jauh di barat laut sana, namun Tetua Chiron merasa sosok itu akan membawa bencana besar yang berdampak sampai ke tempat mereka ini.

“Fay nggak mau main,” Fay menjawab sambil melompat bergelantungan di punggung Alph. “Fay mau jalan-jalan sama Alph ke Danau Pelangi. Fay mau lihat unicorn.”

“Ya sudah. Ayo kesana,” Alph menyetujui. “Tapi Fay jalan sendiri dong.”

“Ayo, ayo, ayo…!” Sambil berseru riang Fay melompat-lompat mendahului.

RAEA – Perang Segitiga (Bab 3 Di Langit Bertabur Bintang)

Leave a comment