BAB 1 ~ EMPAT PENYIHIR MUDA

Kota Pelabuhan Gyoya, 02 Hareus 1421.

Hari masih pagi. Tidak terlalu pagi, karena mentari sudah mulai menerangi segala kehidupan di kota ini. Langit biru cerah tanpa awan sedikitpun. Riuh kehidupanpun sudah ramai terasa di pelabuhan Gyoya.

Sebuah kapal penumpang berlabuh. Kapal besar yang kokoh dengan tiga tiang layar dan berhias kepala elang di ujung lunas halauannya.

Tiga pria, yang kalau dilihat dari pakaiannya adalah para pedagang kaya, keluar dari dalam kapal, turun ke pelabuhan. Mereka disusul oleh enam orang kuli yang memanggul barang-barang bawaan yang kelihatannya berat.

Setelah tiga pedagang itu, turun satu keluarga yang tampak ceria, sepasang suami istri dengan dua anak mereka yang masih kecil-kecil.

Kemudian… empat remaja muncul…

“Sampai juga akhirnya,” Remaja berikat kepala merah berseru riang. Ia merentangkan lengannya, meregangkan badan sambil menguap lebar-lebar.

“Capek Dai?” Remaja tertua yang bertampang malas bertanya santai. Ia dengan enaknya menyandang ransel yang tampak cukup berat.

“Tentu saja tidak,” Dai menjawab bersemangat. “Masa baru begitu saja capek. Mana bisa kita keliling dunia kalau berlayar duabelas jam saja capek. Iya nggak Duan?”

“Jelas saja nggak capek. Kak Dai tidur melulu sih,” balas gadis terkecil, yang paling baru berusia sepuluh tahun, sambil menjulurkan lidah mengejek. Dai mencoba menjitak, namun bocah bertopi kain biru ini dengan gesit berlari ke belakang anak perempuan yang satunya.

“Kita kemana nih Kak Ra?” Gadis remaja satunya yang berpakaian serba putih dan bertampang kalem berkata tenang, tanpa mempedulikan tingkah kedua saudaranya.

“Ke rumah Paman Datma dulu,” jawab remaja tertua, Ra, dengan sama santainya. “Aku sudah memesan kapal penjelajah dua bulan yang lalu. Kurasa sekarang pasti sudah jadi. Kalian mau lihat kan?”

“Tentu saja,” jawab Duan bersemangat. “Lalu kita langsung berangkat Kak?”

Ra tertawa. “Tentu saja tidak. Kita perlu merekrut beberapa awak kapal dulu,” jawabnya sambil melangkah ke satu arah. Ketiga adiknya segera mengikuti.

“Berapa orang?” Duan langsung bertanya.

“Aku memesan kapal kecil dengan kapasitas delapan sampai delapanbelas orang. Paling tidak, kita butuh empat orang lagi untuk bisa mulai berlayar,” jawab Ra sambil terus melangkah.

“Empat orang?” Dai bergumam. “Yang tangguh tentunya, karena tujuan kita kan keliling dunia. Duan, kau merasakan ada berapa orang hebat di sini?”

“Sebelas,” jawab Duan yakin, setelah memejamkan mata sejenak. “Lima sangat kuat. Tapi satu dari lima itu sangat hitam.”

“Begitu ya,” gumam Ra sambil garuk-garuk kepala. “Aku cuma merasakan dua. Kayaknya aku nggak bakalan pernah menang darimu soal beginian.”

“Aku apalagi,” gerutu Dai. “Aku nggak merasakan apapun. Kalau kau Solar?”

Cewek kalem yang berjalan di sampingnya memejamkan mata sejenak lalu menjawab, “Aku juga cuma merasakan dua. Yang satu Tetua Fae…”

“Yaaa… Kak Ra dan Kak Solar payah. Kak Dai apalagi,” Duan langsung saja berseru mengejek.

“Sialan Duan, ngajak berantem ya?” Dai langsung memburu hendak menjitak lagi. Duan buru-buru berlari menghindar di balik tubuh Ra.

“Emang payah kok, wee…!” Duan menjulurkan lidahnya mengejek.

“Ini anak.” Dai melotot dan mengejar, tapi Duan dengan cepat menghindar, menyelip diantara kedua kakaknya yang lain.

“Benar-benar deh,” Solar mendesah putus asa melihat kelakuan dua saudaranya itu.

Ra ketawa saja sambil terus melangkah.

“Kalian udahan dong,” Solar berkata memisahkan Dai dan Duan yang masih terus berkejaran. “Dilihatin orang tuh.”

“Kak Dai tuh,” Duan menjulurkan lidahnya. “Sudah payah, nggak mau ngaku lagi.”

“Biarin, daripada Duan jelek,” Dai balas menjulurkan lidah mengejek.

“Duan, satu yang kaurasakan tadi Tetua Fae kan?” Solar langsung bertanya menengahi.

“Tentu saja,” jawab Duan yakin. “Dari lima orang terkuat yang Duan bilang tadi, ada dua Fae yang sangat kuat, satu adalah Tetua Fae, satunya yang kubilang hitam itu.”

Foid?” Ra bertanya, agak lebih serius. Foid adalah Fae yang tersesat dalam kendali sihir hitam. Berbeda dengan Fae yang dihormati dan disegani, Foid ditakuti masyarakat karena mereka adalah sumber bencana.

“Mungkin,” jawab Duan agak ragu. “Duan tak tahu. Duan kan nggak pernah ketemu Foid.”

“Foid, di kota tempat Tetua Fae berada?” Dai menggumam, mulai serius kini. “Berani sekali.”

“Dia kuat sekali Kak Dai,” Duan menanggapi. “Sebanding dengan Kak Ra dan Tetua Fae.”

“Hemm, kurasa nanti kita perlu bicara dengan Tetua Fae,” Ra memutuskan.

“Selain Tetua Fae dan si hitam, tiga yang terkuat tidak memiliki sihir, tapi kekuatan mental, fisik, dan pemusatan energi mereka hebat sekali,” kata Duan yakin.

“Kaubilang tadi ada sebelas?” Dai ikut bertanya.

“Tentu saja, enam yang lain memang tidak sekuat yang lima itu, tapi tetap saja mereka hebat. Yang satu aku tidak yakin sih, karena kehebatannya aneh.”

“Aneh?” Dai mengangkat alis heran.

“Ya, aneh,” jawab Duan. “Kalau yang lain hebat dalam penggunaan energi, kekuatan mental dan kekuatan fisik, yang satu ini kekuatan pikirannya sangat menonjol. Tapi ia tidak memiliki kekuatan sihir.”

“Orang yang sangat pintar ya?” Dai bergumam.

“Kita sudah sampai,” Ra berkata menyela. “Itu Paman Datma.”

Tak jauh di depan mereka, tampak galangan kapal besar dimana kapal-kapal layar dibuat. Seorang pria separuh baya yang berbadan gemuk, berkumis tebal, dan berpakaian santai hijau tua, sedang berbicang dengan beberapa pekerja galangan kapal. Ra dan ketiga adiknya segera mengenali pria berkumis itu, pemilik galangan kapal Gyoya, sahabat ayah mereka yang dulu sering datang mengunjungi mereka, Paman Datma.

“Paman Datma!” Dai berseru menyapa.

Orang berkumis itu menoleh kaget dan langsung tersenyum riang melihat kedatangan keempat remaja itu.

“Dai, Ra, dan juga Duan dan Solar… Sudah lama aku tak melihat kalian. Sudah besar-besar sekarang,” Paman Datma segera memapaki mereka dan langsung memeluk Dai dan saudara-saudaranya.

“Arni! Arni!” Paman Datma langsung berteriak keras memanggil. “Anak-anak sudah datang nih!”

Seorang wanita gemuk keluar dari gudang galangan kapal, dan langsung memburu ke arah mereka.

“Ra, Dai, Solar, dan ini… Duan. Waduh, waduh, sudah lama sekali kalian tak ke sini. Bibi kangen deh.” Wanita gemuk itu langsung memeluk keempat remaja itu satu per satu.

“Paman dan Bibi baik-baik saja?” Solar bertanya, mendahului bersopan santun, karena ia maklum kakak tertuanya terlalu santai untuk segala macam sopan santun, dan kakak keduanya juga tak terlalu mempedulikan sopan santun.

“Tentu saja, tentu saja. Kalian juga kan? Wah wah wah… kalian pasti sudah lapar ya. Gawat nih, ayo masuk, kita sarapan sama-sama.” Bibi Arni langsung saja dengan setengah menyeret membawa keempat remaja itu menuju rumahnya yang tak jauh dari galangan kapal itu. Paman Datma mengikuti mereka dengan wajah cerah.

……

“Paman Datma. Kapal pesananku sudah jadi?” Ra bertanya. Saat itu mereka sudah selesai makan pagi.

“Beres,” Paman Datma mengacungkan jempolnya meyakinkan. “Kualitas terbaik untuk kalian, dari kayu besi hitam, tiga tiang layar, dengan layar kain awan biru tua dan patung putri duyung perak di kepala halauannya. Kau bisa melihatnya di luar.”

“Kapasitasnya?”

“Delapan sampai delapanbelas orang, tepat seperti yang kau minta,” jawab Paman Datma puas. “Itu kapal penjelajah terbaik yang pernah dibuat di tempat ini.”

“Harganya?” Ra bertanya lagi.

“Sudah, tak usah kau pikirkan tentang itu. Mana mungkin aku meminta bayaran dari anak-anak Oswantu,” jawab Paman Datma sambil tertawa.

“Wah, tidak bisa begitu Paman,” Ra langsung memprotes. “Kau kan tahu mendiang ayah? Kalau ia tahu kami menerima pemberian paman yang ini tanpa membayar, wah….”

“Ia bakal marah besar,” Dai melanjutkan.

“Tapi…” Paman Datma hendak membantah.

“Kami nggak bisa menerima kapal itu tanpa membayar, Paman,” potong Ra.

“Tapi…”

“Kalau Paman tidak mau dibayar, Kak Ra pasti nggak bersedia memakai kapal itu,” Dai ikut memotong.

“Baik, baik. Kalian ini memang…,” gerutu Paman Datma sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Yah sudahlah, lima ratus keping emas untuk kapal, perlengkapan dan perbekalan selama satu bulan,” ucap Paman Datma akhirnya.

“Itu cuma setengah dari harga pasar,” balas Ra sambil mengerutkan kening. Ia cukup paham akan harga kapal. “Paman Datma…”

“Dengar Ra. Itu harganya. Titik.” Paman Datma mengetok meja dengan tegas.

“Tapi… tapi Paman akan merugi. Ini…,” Ra menghempaskan punggung ke sandaran kursinya putus asa. “Bibi Arni, gimana ini Paman Datma?”

“Gimana apanya Ra?” Bibi Arni menjawab tenang. “Kalau pamanmu bilang itu harganya, ya itulah harganya. Kenapa bingung?”

“Tapi kan, tapi kan paman dan bibi akan merugi…”

“Kami tidak rugi,” jawab Bibi Arni sambil tersenyum sabar. “Bahkan kalau aku yang memutuskan, kalau untuk kalian, harga tiga ratus keping emas saja sudah cukup.”

Ra mengerang. “Bibi jangan ikut-ikutan dong. Wah, kacau nih.”

Paman Datma ketawa. “Kenapa pusing Ra? Tidak seperti kau yang biasanya. Sudahlah jangan ambil pusing. Lima ratus keping emas. Titik. Aku tak mau terima lebih dari itu.”

Dai tiba-tiba ketawa. “Sudahlah Kak Ra. Paman dan Bibi ini bisa keras kepala juga seperti kita. Kalau kita bersitegang soal harga di sini, nggak bakal selesai-selesai dah. Bayar saja lah.”

“Anggap saja potongan harga,” tambah Solar dengan kalem.

“Yah, gimana lagi?” desah Ra. Ia membuka ransel yang dibawanya dan mengeluarkan lima kantung uang dan langsung mengangsurkannya pada Paman Datma. Ia punya cukup banyak uang hasil menjual rumah dan tanah milik mendiang orangtuanya.

“Oh ya,” Bibi Arni tiba-tiba berseru. “Kalian perlu merekrut awak kapal kan? Selama kalian belum mendapatkan cukup awak kapal, kalian harus makan dan tidur di sini. Paham?”

“Harus?” Duan mengulang heran.

“Ya, harus!” tegas Bibi Arni. “Kalian tanggung jawab kami sampai kalian berangkat berlayar.”

“Yaa, kalau makannya jangan harus dong Bi,” Duan merengek kecewa. “Masakan bibi memang enak, tapi Duan kan juga kepingin ditraktir Kak Ra makan sup sirip hiu di depan pasar kota. Habis… kata Kak Dai, sup itu enak sekali.”

Bibi Arni mengerutkan kening sejenak, tapi kemudian segera tersenyum lagi. “Baiklah Duan. Kalian boleh makan siang di luar. Tapi makan pagi dan malamnya harus di sini, jelas? Jangan lupa ya?”

“Ya ya ya…” Duan langsung menjawab ceria.

“Dasar Duan,” komentar Dai sambil geleng-geleng kepala. Duan mendengar ucapan kakaknya itu dan langsung menjulurkan lidahnya mengejek.

“Habis ini kalian mau istirahat dulu?” Paman Datma bertanya.

“Aku sih rencananya mau mengajak mereka mencari Kristal Kalsobra di kuil Fae, Paman,” jawab Ra. “Sekalian, kami mungkin perlu menemui Tetua Fae.”

Semua disitu tahu apa itu Kalsobra, bola kristal sihir yang bisa dibenamkan setengahnya ke dalam anggota tubuh seseorang. Benda sihir ini diciptakan kaum Fae dan Niria (peri) untuk menunjukkan semacam pengakuan akan pekerjaan seseorang. Tanpa kalsobra ini, pekerjaan seseorang akan dianggap amatir.

Kalsobra diketahui mempunyai tujuh level yang menunjukkan kemampuan pemakainya dalam bidang pekerjaan yang ditunjukkan kalsobra itu: Level itu ditunjukkan dengan warna, dimulai dari Merah Tua, Hijau, Biru Langit, Perak, Emas, Pelangi, dan Bening Kaca.

“Cari Kalsobra? Bener Kak Ra? Asyiiikk!” Duan berseru bersemangat. “Duan mau punya dua, seperti punya ayah dulu. Keren sih…!”

“Wah, kalau dua sih, tidak mudah Duan,” sahut Paman Datma langsung. “Hanya mereka yang sudah mendapat julukan dari Ratu Niria yang boleh memakai dua Kristal Kalsobra.”

“Julukan?” Duan mengangkat alis bingung.

Paman Datma tersenyum. “Ya, julukan. Seperti ayahmu dulu, Oswantu sang Apharta, Oswantu sang Pemberani. Dan ibumu juga, Sikuniam sang Niria Harna, Sikuniam sahabat bangsa Niria.”

“Kalau begitu kita harus segera ke ibukota Niria, Gepith, dan minta Ratu Niria memberi kita julukan. Ya kan Kak?” seru Duan penuh semangat.

“Nggak bisa begitu Duan,” Ra menanggapi santai. “Ratu Niria tak segampang itu memberi julukan. Kita harus melakukan hal-hal yang hebat dan menjadi terkenal dulu. Baru ia akan menerima kita.”

“Yaa… masih lama dong?” Duan berkata kecewa.

Saudara-saudaranya dan paman serta bibinya langsung ketawa mendengarnya.

“Sabar dong Duan,” Solar berkata menghibur. “Berangkat bertualang saja kan kita belum.”

“Yaa…” Duan merengut manja. Tapi tiba-tiba raut mukanya langsung berubah serius. Ia nampak mengerutkan kening dan berkonsentrasi dengan keras.

“Ada apa Duan?” Solar langsung bertanya cemas.

“Gawat Kak, energi si hitam dan energi Tetua Fae berbaur, aneh sekali.” Duan langsung menjawab.

“Hemm,” Ra dengan kalem memejamkan matanya dan ikut berkonsentrasi. Begitu juga Solar. Dai mengawasi mereka dengan gelisah. Kemampuan mendeteksinya sangat payah kalau dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Ia cuma bisa merasakan energi kalau itu berada dalam jarak pandangnya.

“Sepertinya gawat Kak Ra,” Tiba-tiba Solar berucap. Sikapnya masih tenang, tapi nada tegang tak bisa dipungkiri melekat di ucapannya tadi.

“Ya,” Ra menyahut sambil bangkit berdiri. “Sepertinya mereka bertempur.”

“Apa?” Dai ikut bangkit dengan tegang.

“Paman, Bibi, kami pergi dulu,” Ra langsung saja berkata pada Paman Datma dan Bibi Arni, lalu melangkah keluar.

“Ada apa Ra?” Paman Datma bertanya bingung dan khawatir.

“Sepertinya Tetua Fae sedang mengalami masalah Paman,” Solar yang menjawab. “Kami harus segera mengunjunginya. Permisi!”

“Nanti kami akan kembali lagi Paman,” Duan berseru dan segera berlari mengejar kakak-kakaknya yang sudah duluan keluar. “Dadaaah…!”

Ra dan ketiga adiknya bergegas menuju Kuil Fae yang terletak di sebelah timur kota.

“Kak Ra! Kita pakai sihir saja yah? Kayaknya gawat nih,” Solar berseru mengusulkan.

“Terpaksa,” Ra menyetujui. “Ayolah.”

Dan, begitu Ra memberikan persetujuannya, keajaibanpun mulai terjadi.

Tubuh Solar tiba-tiba berpendar keperakan, dan kemudian… sayap perak keemasan yang transparan menyembul dari punggungnya. Kemudian sayap itu terkepak, mulanya cuma perlahan, tapi kemudian menjadi semakin cepat, semakin cepat, dan… Solar… terbang…

Yang dialami Dai juga hampir sama. Sayap juga menyembul dari punggung Dai dan membuatnya melesat terbang. Tapi itu bukan sayap cahaya seperti milik Solar melainkan… sayap api. Dan hebatnya, sayap itu tak tampak membakar tubuh atau pakaian Dai sama sekali.

Sihir Duan juga unik dan menakjubkan. Ia menggumamkan kata-kata tak jelas, dan entah bagaimana, tahu-tahu muncul seekor rusa jantan yang berwarna biru transparan di sebelahnya. Lalu, tanpa ragu, Duan langsung melompat ke punggung rusa itu, yang segera membawanya lari secepat angin.

Dibandingkan dengan apa yang dilakukan saudara-saudaranya, yang dilakukan Ra sekilas kelihatannya jauh lebih remeh. Ia kelihatannya hanya berjalan santai dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Tapi anehnya, sekalipun jalannya tampak sangat santai, ia tak pernah ketinggalan sedikitpun dari adik-adiknya yang melesat dengan sangat cepat. Dan kalau diperhatikan benar-benar, biarpun tampak seperti melangkah, kaki Ra… sama sekali tidak menyentuh tanah.

Paman Datma, Bibi Arni, dan orang-orang yang melihat apa yang mereka lakukan itu hanya bisa melongo takjub melihatnya. Dan dalam perjalanan juga. Mereka yang dilewati keempat bersaudara itu cuma bisa memandang dengan mulut ternganga penuh kekaguman.

Ra dan adik-adiknya tak mempedulikan pandangan orang-orang dan langsung menuju Kuil Fae. Karena kemampuan sihir mereka, keempat remaja itu bisa mencapai Kuil Fae dengan sangat cepat. Dan  yang mereka saksikan di halaman kuil itu adalah… Pertempuran dahsyat antara dua penyihir… lalu…

Terdengar ledakan keras. Dan di sana, di halaman Kuil Fae, dua orang terlempar bergulingan berlawanan arah.

Seorang dari mereka adalah seorang pria tua berkepala botak dengan kumis dan jenggot putih panjang, mempunyai tanda titik emas di dahinya, serta berbaju jubah biru muda.

Yang satunya lagi adalah seorang pria tua berkulit buram berjubah ungu, dengan rambut kelabu panjang yang meriap-riap tak teratur, dan di dahinya terhias tiga garis vertikal warna hitam.

“Tetua Fae!” Ra dan ketiga adiknya segera memburu ke arah pria tua berjenggot putih.

Tanpa berkata apapun, Solar cepat mengulurkan tangannya ke dada Tetua Fae.

Tubuh Tetua Fae bersinar redup sesaat. Kemudian… luka-luka lecet di tubuhnya dengan cepat menghilang. Wajah Tetua Fae yang tadinya sangat pucat juga dengan segera kembali normal.

Minos Mosnum!” Tiba-tiba terdengar seruan keras dari pria berambut kelabu.

Ada asap hitam bergulung dan tahu-tahu, diiringi suara gemeretakan keras… muncul patung logam yang luar biasa besar, seekor minotaur baja setinggi tiga meter. Kepala bantengnya tampak sangat buas, sementara lengan raksasanya yang membawa palu yang juga raksasa tampak sangat kekar.

Sesaat suasana berubah menjadi sangat hening. Lalu… Mendadak patung minotaur itu meraung dan mulai bergerak.

Orang-orang yang ada di sekitar situ, para penghuni kuil Fae yang sepertinya dari tadi telah menonton, langsung menjerit dan melangkah mundur dengan kaget dan ketakutan. Mereka yang disana sebagian besar adalah Fae pelajar, bukan petarung.

“Biar aku yang hadapi,” Dai berseru keras dan langsung melangkah ke depan memapaki monster baja itu.

Minotaur logam itu langsung mengayunkan palunya sekuat tenaga ke kepala Dai.

“Lembek,” Dai mendengus mengejek dan mengangkat tangan kanannya memapaki serangan itu.

Desshh! Ajaib. Telapak tangan Dai dengan mudah menahan kepala palu yang besarnya hampir melebihi tubuhnya itu.

“Logam ya?” Dai bertanya santai. “Sayang sekali. Aku ini penyihir api. Dan apiku jauh lebih kuat dari besi murahanmu.”

Mendadak telapak tangan Dai berubah menjadi merah membara dan langsung melumerkan bagian palu yang dipegangnya.

Sambil meraung murka, si Minotaur logam menarik palunya dan langsung mengayunkannya lagi ke badan Dai.

“Hahh!” Dai cepat melangkah maju dan memapaki dengan cengkeraman. Kali ini bukan di kepala palunya tapi di pegangannya.

Crasssshhhh! Leher palu yang sebesar paha pria dewasa itu langsung lumer begitu bertemu dengan telapak tangan Dai yang membara.

Kepala palu raksasa sang minotaur jatuh, membuat  tanah sesaat bergetar.

“Saatnya mengucapkan selamat jalan, sayang!” Dai berkata dengan senyum nakal tersungging di bibir. Tahu-tahu, sebuah pedang energi yang merah membara sudah berada di tangan remaja berbandana merah ini.

“Dadaahhh…!” Dai berseru nyaring dan menggerakkan pedangnya. Pedang api Dai berkelebatan dengan sangat cepat, membelah tubuh logam monster raksasa itu menjadi empat bagian. Dan…

Dari badan terbelah sang Minotaur, asap kelabu muncul menutupi pandangan. Begitu asap itu sirna, semua bagian tubuh minotaur baja itu, termasuk kepala palu raksasanya tadi, juga menghilang… lenyap tanpa bekas.

“Selesai,” Dai berkata santai dan mengibaskan lengannya. Pedang energinya langsung lenyap dari tangannya.

“Tapi si hitam sudah melarikan diri,” timpal Duan.

“Apa perlu kami mengejarnya Tetua?” Ra bertanya pada Tetua Fae dengan kalem, seolah hal seperti ini terjadi setiap hari saja.

“Tidak perlu. Tidak perlu,” Tetua Fae segera menjawab. Ia berdiri dan cepat mengibaskan debu di pakaiannya.

“Untung kalian datang,” ia berkata tenang, seperti Ra, bersikap seolah kejadian tadi sudah sangat biasa. “Dia sudah menjadi kuat sekali. Aku tak yakin aku bisa mengalahkannya. Mungkin kalau aku melepas segelku…. Ah., tapi ia juga belum melepas segelnya.”

“Siapa dia Tetua?” Dai bertanya.

“Sainganku sejak dulu, Waerloga. Tapi tak kusangka ia bisa terjatuh dalam sihir hitam dan menjadi Foid. Padahal ia sangat hebat. Sayang sekali,” gumam Tetua Fae sedih. Lalu ia berpaling pada Dai. “Kau juga sudah menjadi sangat kuat Dai. Latihan khususmu berhasil ya?”

“Yah, dibilang berhasil sih,” Dai garuk-garuk kepala. “Aku belum pernah menang sekalipun dari Kak Ra, sih. Tapi, kenapa sih Foid tadi nekat datang ke sini Tetua?” tanyanya.

“Ia menginginkan Permata Fae. Waktu aku tak bersedia memberinya, ia langsung menyerangku,” jawab Tetua Fae dengan alis berkerut. “Tapi, mau apa dia dengan Permata Fae?” Ia bertanya pada dirinya sendiri.

Permata Fae adalah sebuah benda sihir milik bangsa Fae yang menurut cerita merupakan pemberian dari bangsa kuno Esperian yang kini sudah punah. Permata itu disimpan di Kuil Fae Gyoya, dan dijaga oleh sihir perlindungan yang sangat kuat, sekalipun sekarang bisa dibilang sudah tidak ada yang mengetahui kegunaannya.

“Ngomong-ngomong, kalian bisa tepat sekali waktu kedatangannya ke sini,” komentar Tetua Fae.

“Kan ada Duan,” jawab Ra santai.

“Kenapa dengan Duan?” tanya Tetua Fae.

“Duan hebat sih,” seru Duan bangga. “Duan tahu kalau Tetua Fae lagi bertarung sama si hitam.”

“Si Hitam?”

“Foid tadi,” Solar menjelaskan. “Duan bisa melakukan deteksi sihir yang hebat…”

“Duan tidak melakukan deteksi sihir. Duan melakukan deteksi super,” potong Duan.

“Iya iya,” gerutu Solar. “Pokoknya, Duan bisa mengetahui kalau sihir orang tadi itu ‘hitam’. Makanya kami cepat-cepat ke sini.”

“Wah, kalau begitu Duan yang berjasa dong,” komentar Tetua Fae. Duan membusungkan dada kecilnya dengan bangga.

“Sebenarnya kami memang berniat ke sini Tetua,” Ra berucap kalem. “Aku dan adik-adikku ingin mencoba mendapat Kristal Kalsobra, boleh tidak?”

“Tentu saja boleh,” Tetua Fae langsung mengiyakan. “Ayo, ikut aku,” lanjutnya sambil melangkah memasuki kuil.

“Boleh minta dua nggak seperti ayah?” Duan bertanya sambil berjalan melompat-lompat ceria.

“Kalian harus mendapat izin dari Ratu Niria dulu,” jawab Tetua Fae sambil tertawa. “Itu peraturannya.”

“Yaaa…,” Duan mendesah kecewa.

“Duan bandel ah,” omel Dai. “Kan sudah dibilangin Paman Datma.”

“Biarin. Weee…!” balas Duan sambil kembali menjulurkan lidah mengejek.

Sementara itu mereka sudah mulai memasuki ruangan depan Kuil Fae. Ruangan itu besar dengan tiang-tiang penyangga yang berukir indah. Ada banyak tonggak-tonggak batu berukir di ruangan ini. Di atas tonggak-tonggak itu, terletak bola-bola kelabu.

Tetua Fae mengangguk pada dua fae berjubah hijau yang berjaga di sana. “Ini Ruang Kalsobra Utama. Kristal-kristal Kalsobra itu,” ia menunjuk bola-bola kelabu di sekelilingnya. “… boleh dicoba oleh siapa saja.”

“Kami boleh mencobanya?” Dai bertanya bersemangat.

“Boleh sih,” jawab Tetua Fae. “Tapi aku sarankan tidak. Kalian sebaiknya ikut aku dulu,” lanjutnya sambil melangkah masuk ke ruangan lain.

Ra dan ketiga adiknya mengikuti Tetua Fae. Mereka memasuki ruangan yang mirip dengan ruangan sebelumnya, tapi jauh lebih kecil. Ada beberapa tonggak batu di tempat itu. Cukup banyak, tapi tak sebanyak di ruang pertama.

Tetua Fae kembali mengangguk pada dua Fae berjubah hijau yang sedang berjaga. “Ini Ruang Kalsobra Dua. Ini khusus untuk mereka yang bisa mengendalikan sihir.”

“Fae?” tanya Dai menegaskan.

Tetua Fae mengangguk. “Fae, ya. Tapi tidak cuma Fae. Weis Bit, Niria dan Aphiand juga sebenarnya bisa mencoba kristal Kalsobra di sini.”

Ra dan ketiga saudaranya tak berkomentar. Mereka mengenal ketiga istilah itu dengan sangat baik.

Weis Bit adalah ras langka hewan ajaib yang bisa berbicara, sering dituturkan dalam cerita anak-anak. Bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa singa, kuda, kura-kura, serigala, dan sebagainya.

Niria adalah peri, makhluk kecil bersayap kupu-kupu yang cerdas dan mempunyai kekuatan sihir luar biasa.

Istilah terakhir, Aphiand, sebenarnya menunjuk pada tiga ras tersembunyi: Seraphiand, atau lebih sering disebut malaikat, adalah ras pertama yang berwujud manusia bersayap. Neptophiand, atau manusia duyung, adalah ras kedua yang berwujud setengah manusia setengah ikan. Terakhir, Geophiand, ras yang paling tersembunyi, yang berwujud setengah manusia setengah pohon, lebih sering disebut sebagai nymph atau trent.

“Ras yang dilarang masuk ke sini adalah yang tak mampu mengendalikan sihir mereka: Foid, Likhon, Geth Vala, dan Vile Monde.” Tetua Fae menambahkan.

“Kenapa?” Duan bertanya ingin tahu.

Ra dengan kalem menerangkan, “Foid itu Fae yang terjatuh dalam sihir kegelapan. Ia bukan lagi tuan atas dirinya sendiri, tapi budak dari kekuatan kegelapan. Itu sebabnya ia tak boleh ke sini. Karena ia dikendalikan oleh sihir, bukannya mengendalikan sihir. Kalau Likhon… Kau sudah pernah mendengar tentang mereka kan Duan? Likhon, yang sering disebut Korpsing atau mayat berjalan, itu ras kanibal yang tinggal di bawah tanah. Mereka ras yang tercemar oleh kekuatan sihir hitam. Mereka dikendalikan sihir hitam bukannya mengendalikan.”

“Kalau Geth Vala dan Vile Monde?” Duan masih bertanya.

“Masih sama saja.” Kali ini Tetua Fae yang menjawab. “Kau tahu kan apa itu Geth Vala? Para vampir yang kebal serta mempunyai sihir hipnotis dan ilusi tingkat tinggi. Efek kemampuan sihir mereka, yaitu haus darah yang seolah tak pernah terpuaskan, tak bisa mereka kendalikan. Itu sama saja dengan mereka tak bisa mengendalikan sihir mereka.”

“Sedang Vile Monde,” Ra melanjutkan. “Mereka adalah suatu bangsa yang dulu disegel oleh bangsa kuno Esperian. Bangsa ini begitu memuja kekuatan hingga rela merubah diri menjadi monster demi memperoleh kekuatan itu. Sebagai akibatnya mereka bukannya mengendalikan kekuatan mereka, tapi dikendalikan oleh kekuatan sihir mereka. Seperti Angya Yanga yang dilawan ayah dulu…”

“Ngomong-ngomong soal Vile Monde,” Tertua Fae menyela. “Kami sudah terus melacak mereka sesuai permintaanmu Ra. Dan tahun ini, ada dua lagi Vile Monde yang tampaknya lolos dari segel bangsa Esperian. Kami sudah menangani mereka. Tapi harus kuakui kalau mereka itu sangat merepotkan. Benar-benar akan sangat berbahaya jika mereka sungguh kembali lagi.”

“Hmm,” Ra menggumam dan memejamkan matanya dengan kalem. “Lantas Ratu Niria bilang apa Tetua?”

Matrion,” jawab Tetua Fae singkat.

“Sudah kuduga,” komentar Ra ringan. “Sayangnya aku tak mengenal satupun Advaen Harna.”

“Apa itu Matrion? Apa itu Advaen Harna? Kalian ngomong apa sih?” Duan bertanya sebal.

“Matrion itu kristal jiwa, Duan,” Ra menerangkan. “Kau tahu bangsa Esperian yang mengurung bangsa Vile Monde kan? Menurut yang dipercaya orang-orang, mereka memang sudah punah. Tapi itu tak sepenuhnya benar. Semangat tokoh-tokoh bangsa kuno itu tertinggal dalam kristal-kristal jiwa yang disebut Matrion.”

“Ada penyihir yang secara alami memiliki kemampuan untuk menggunakan kristal-kristal ini untuk memanggil kekuatan kuno para Esperian. Nah, para pengguna Matrion itu disebut Advaen Harna atau sahabat roh,” sambung Tetua Fae.

“Aku mengerti,” komentar Dai. “Advaen Harna mungkin bisa sangat membantu untuk mengatasi masalah Vile Monde, karena Vile Monde dulupun dikalahkan oleh para Esperian.”

“Benar,” sahut Ra menyetujui. “Sayangnya, kemampuan ini tidak bisa dipelajari. Dai dan Solar mungkin masih ingat. Mendiang nenek kita dari ibu dulu adalah Advaen Harna alami. Tapi tampaknya bakatnya itu tak menurun ke kita. Yah, Advaen Harna bertumpu hampir sepenuhnya pada bakat alam yang langka. Dan yang lebih disayangkan lagi, kita tak mengenal satupun Advaen Harna yang masih hidup.”

“Kau salah dalam hal ini Ra,” bantah Tetua Fae. “Ada seorang Fae yang juga Advaen Harna. Dan aku yakin kau mengenalnya.”

“Hah?” Ra mengerutkan kening tak mengerti.

“Altadhia,” jawab Tetua Fae sambil tersenyum.

“Kak Altadhia?” Solar berseru senang. “Benar juga. Kita sudah lama sekali tak bertemu dia, juga Paman Struma dan Bibi Mirtha.”

“Altadhia seorang Advaen Harna?” Ra bertanya heran. Ia tak pernah tahu soal itu.

“Benar sekali, tapi… dengar Ra. Aku mau minta tolong kalian,” ucap Tetua Fae dengan wajah berubah muram.

“Ada masalah apa Tetua?” Dai langsung bertanya.

“Sudah berapa lama kalian tak bertemu Altadhia dan keluarganya?” Tetua Fae malah balik bertanya.

“Terakhir kali Paman Struma berkunjung bersama Kak Alta sewaktu Duan masih dua-tiga tahun, jadi itu sekitar tujuh-delapan tahun yang lalu.” kata Solar yakin.

“Sudah lama ya?” gumam Tetua Fae. “Masalahnya, kami tak mendengar apapun dari pulau Geinlungga selama enam tahun ini. Aku sudah mengirim beberapa Fae untuk menyelidiki. Tak hanya sekali, berkali-kali. Tapi tak ada yang kembali.”

“Itu aneh,” Ra langsung menanggapi. Pulau Geinlungga, tempat Struma bermukim sebagai kepala desa, adalah sebuah pulau kecil yang sepenuhnya ditinggali oleh Fae. Dan seharusnya dari satu perkampungan dimana kira-kira ada tiga ratus Fae berkumpul itu, ada paling tidak sepuluh Fae yang menguasai sihir komunikasi jarak jauh dengan telepati. Kalau sampai tidak ada kabar selama lebih dari lima tahun…

“Dan baru-baru ini, kami menerima sinyal sihir samar yang kami duga adalah tanda permintaan tolong dari Pulau Geinlungga,” tambah Tetua Fae. “Dua minggu lalu, aku mengirim duapuluh Fae utama untuk menyelidiki ke sana. Namun sampai sekarang mereka belum memberi kabar. Kalau dalam satu minggu lagi belum ada kabar, aku berniat untuk pergi ke sana sendiri.”

“Kita harus segera ke sana Kak Ra,” Solar langsung berkata cemas. Ia langsung paham akan seriusnya masalah itu.

“Ya,” jawab Ra langsung. “Begitu mendapatkan paling tidak empat awak kapal lagi, aku pikir kita langsung menuju ke sana saja. Geinlungga tak terlalu jauh. Paling hanya satu minggu perjalanan ke timur.”

“Bagus,” Tetua Fae berkata lega. “Kalau kalian yang ke sana, aku bisa merasa lega.”

“Siapa sih Kak Altadhia?” Duan bertanya tak mengerti.

“Pacar Kak Ra,” jawab Dai iseng.

“Beneran nih?” Duan meminta penegasan.

“Tentu saja,” jawab Dai meyakinkan.

“Jangan ngomong seenaknya Dai.” Ra langsung mencoba menyambar kuping adiknya itu.

Dai dengan gesit menghindar. “Emang beneran kok,” oloknya sambil ketawa.

“Altadhia itu puteri Paman Struma,” kata Solar memberitahu Duan. “Paman Struma itu sahabat ayah, sama seperti Paman Datma.”

“Dan bukan pacarku,” tambah Ra langsung.

Dai langsung nyeletuk, “Bukan apa belum?”

“Jangan ngomong sembarangan Dai,” tegur Ra mengancam. Tapi dasar Ra. Sikapnya sama sekali tak mencerminkan kata-katanya. Ia masih tampak sangat santai, tanpa ada kesan mengancam sama sekali.

“Sudahlah,” kata Tetua Fae sambil tertawa kecil. “Kalian mau mencoba Kalsobra kan? Coba saja.”

“Ada apa saja sih Tetua?” Dai bertanya.

“Sekarang ada enambelas jenis Kalsobra untuk pengguna sihir. Tapi, kalau untukmu Dai, tak perlu memilih, sudah sangat jelas Kalsobra yang mana yang cocok bagimu,” sahut Tetua Fae. Ia mengambil sebuah kristal Kalsobra, seolah acak saja, dan dengan ringan melemparkannya ke arah Dai.

Dai menangkap kristal itu. Dan mendadak, kristal itu langsung bersinar terang….

“Wuaa…!” Dai berseru kaget dan hampir saja menjatuhkan kristal di tangannya.

“Kurasa itu kelas yang paling cocok untukmu Dai. Pyrophian, Penyihir Api.” Tetua Fae dengan tenang berkata. Tidak acak ternyata kristal yang dipilihnya tadi.

Dai mengamati kristal yang dipegangnya dan langsung berseru, “Keren! Aku mau yang ini. Boleh Tetua?”

“Tentu. Pakai saja.”

“Bagaimana caranya?” Dai bertanya tak mengerti.

“Benamkan ke bagian tubuhmu sambil menyebutkan nama kelasnya, Pyrophian,” sahut Tetua Fae.

“Benamkan?” Dai bertanya lagi, ragu.

“Ya. Sebagian besar orang membenamkannya di punggung lengan hingga cuma separuh yang menonjol ke luar. Yang lain di dada, di dahi, atau di pundak. Tenang saja, itu takkan menyakitimu, dan takkan mengganggu fungsi tubuhmu juga. Dibenamkan mana saja baik sih, karena kristal itu juga berfungsi sebagai perisai. Selama pemiliknya masih hidup, tak ada kekuatan apapun yang bisa memecahkannya,” kata Tetua Fae menjelaskan.

“Selama pemiliknya masih hidup?” Solar bertanya tak paham.

“Benar,” sahut Tetua Fae. “Kristal itu adalah gumpalan energi sihir. Ia akan menyatu dengan tubuh pemiliknya, dan tak bisa dilepas lagi, kecuali mungkin oleh Ratu Niria. Selama pemiliknya hidup, kristal itu takkan bisa diapa-apakan. Tapi jika pemiliknya sudah tiada, kristal itu akan lenyap tanpa bekas.”

Mendengar keterangan itu, tanpa ragu, Dai langsung membenamkan kristal itu di punggung lengan kanannya sambil berseru, “Pyrophian!”

Kristal itu dengan mudahnya terbenam ke punggung lengan Dai. Dan tiba-tiba, cahaya yang luar biasa terang meliputi ruangan itu.

“Apa yang terjadi?” Tetua Fae bertanya terkejut. Kedua Fae yang menjaga tempat itu juga sangat kaget. Sebelumnya belum pernah ada cahaya seterang itu waktu seseorang memasang Kalsobra di tubuhnya.

“Kristalku… kristalku…,” Dai berkata terbata-bata karena kaget juga. “Kristalku berubah warna.”

Dai menunjukkan kristal Kalsobra di tangannya.

“Oh…! Astaga! Astaga…! Ini luar biasa!” Tetua Fae langsung berseru kagum. “Ini belum pernah terjadi sebelumnya.” Ia dan kedua Fae yang menjaga ruangan itu memandang takjub kristal di punggung lengan Dai.

Kristal di lengan Dai menjadi berwarna… pelangi. Langsung naik enam level. Menakjubkan.

“Wuah… Bagus. Seperti punya ayah. Duan juga mau dong,” Duan langsung berseru takjub.

“Lambangnya apa Kak Dai?” Solar bertanya ingin tahu.

“Lihat saja sendiri,” Dai berseru bangga sambil menunjukkan kristal di tangannya.

Solar dan saudara-saudaranya yang lain mendekat untuk melihat. Ternyata simbol yang berada di dalam Kalsobra milik Dai adalah lidah api yang berkobar-kobar membara. Bagus sekali.

“Duan juga ingin. Duan juga ingin,” Duan langsung berseru-seru sambil melonjak-lonjak bersemangat.

“Kau boleh lihat-lihat Duan. Pilih yang kau suka. Akan kita lihat nanti apakah kau sudah memenuhi syarat belum,” kata Tetua Fae. Ia masih takjub dengan kejadian tadi. Kristalnya sendiri memang sudah pelangi juga. Tapi untuk mencapainya, ia butuh puluhan tahun. Sementara Dai, gila… baru dipakai langsung berubah menjadi level enam.

Duan segera berlari melompat-lompat melihat-lihat simbol dalam bola-bola Kalsobra di tempat itu.

Beberapa saat kemudian…

“Iiihh… Lucu!” Duan berseru senang dan memegang salah satu bola Kalsobra di sana, dan bola itu langsung bersinar terang.

“Duan mau yang ini. Lucu!” seru Duan riang sambil berlari melompat-lompat ke arah Tetua Fae.

“Apa simbolnya, Duan?” Dai bertanya ingin tahu.

Duan menyodorkan Kalsobra kelabunya. Ternyata di dalam kristal itu ada simbol makhluk kecil biru yang lucu. Bentuknya seperti bola dengan mata bulat besar dan mulut kecil, tanpa hidung. Kemudian di tempat yang seharusnya adalah telinga, ada sayap kecil. Lambang itu lucu dan imut sekali.

“Hahaha…!” tetua Fae tertawa kecil. “Cocok untukmu Duan. Itu cuma ada satu di dunia ini, Cyuphian, Penyihir Biru.”

“Apa itu Penyihir Biru, Tetua? Aku belum pernah dengar,” Ra langsung bertanya.

“Itu satu-satunya kelas penyihir dan Kalsobra yang dibuat mendiang Puckelfi,” jawab Tetua Fae dengan senyum lebar. “Belum pernah ada yang bisa membuatnya bersinar.”

“Oh,” Ra langsung berseru mengerti. Begitu pula ketiga adiknya.

Puckelfi sangat dikenal di kalangan pengguna sihir. Ia adalah Niria bandel adik dari Ratu Niria yang sangat senang dengan lelucon dan hal-hal yang lucu dan imut. Tindakannya kadang-kadang keterlaluan walaupun tak bisa dibilang jahat. Ia pernah menurunkan hujan bunga selama tiga hari di kota Gransame, merubah air sungai Manosa menjadi air sirop warna-warni, mengganti semua senjata perang negeri Nobalby dengan mainan anak-anak, menutupi seluruh jalan raya di kota Thaena dengan jamur aneka warna, dan banyak lagi hal-hal iseng lainnya.

Sekalipun tindakan Puckelfi sering merepotkan Ratu Niria dan bangsa Niria, bangsa itu sangat memuja dan menyayangi sang Niria bandel. Ketika Puckelfi meninggal dunia karena sakit parah yang tak terobati enam tahun lalu, hampir semua pengguna sihir berkabung dan menghadiri pemakamannya, termasuk Ra dan adik-adiknya yang diajak ayah mereka.

“Apa Duan boleh memakai ini Tetua?” Duan bertanya ragu.

“Tentu saja, Duan,” jawab Tetua Fae ringan. “Pakailah itu dan hidupkanlah kembali semangat Puckelfi.”

Duan berseru riang, “Ayo Cyuphian!”

Sinar terang kembali meliputi ruangan itu. Lalu…

“Yaa…,” terdengar suara kecewa Duan. “Kok nggak pelangi?”

Tetua Fae memandang kristal di tangan Duan dan dengan terkejut melihat bahwa kristal inipun telah berubah… menjadi emas. Level lima. Astaga!

Kedua Fae penjaga tempat itu juga melongo heran. Anak sekecil itu bisa menggunakan kristal Cyuphian dan bahkan membuatnya menjadi level lima? Luar biasa.

“Astaga! Latihan apa yang sebenarnya kalian lakukan lima tahun ini?” Tetua Fae berseru tak percaya. Memang, setelah Oswantu meninggal, Tetua Fae mengajukan diri untuk merawat dan mengajari Ra dan adik-adiknya latihan sihir di Kuil Fae. Namun mereka menolak dan mereka berkata pada Tetua Fae bahwa mereka akan melakukan latihan sihir sendiri di tempat rahasia yang jauh terpencil di tengah hutan. Dan ternyata hasilnya… bahkan Duan yang masih sepuluh tahun itu sudah bisa membuat Kalsobra naik lima level sekali pakai.

Ra tersenyum kalem. “Kami berlatih Hutan Cosbo, Tetua,” jawabnya ringan seolah itu sudah menjelaskan semuanya.

“Hu… Hutan Cosbo?!” Tetua Fae bertanya tak percaya. Seorang dari dua Fae penjaga langsung berseru kaget sementara seorang yang lain melongo tak percaya. Hutan Cosbo adalah daerah yang sangat berbahaya karena dipenuhi dengan makhluk buas dan energi sihir liar yang terkadang membentuk wujud makhluk mengerikan.

Energi sihir itu seperti angin. Ada banyak energi sihir tak bertuan di udara di mana saja, kapan saja. Dan bisa dibilang, energi itu kecil dan tidak berbahaya. Tapi, di tempat-tempat tertentu, energi yang terurai itu bisa menyatu, memadat, dan menjadi liar. Sama seperti angin yang menyatu dan meliar menjadi topan atau angin beliung. Hutan Cosbo adalah salah satu tempat paling berbahaya dimana arus energi sihir terkuat dari berbagai penjuru mengalir ke situ… menciptakan sosok-sosok  sihir yang mengerikan.

Dan Ra bersama adik-adiknya berlatih di situ selama hampir lima tahun. Padahal Tetua Fae sendiri harus berpikir dua kali kalau disuruh melewati tempat itu biar hanya semalam.

Sementara itu…

“Kenapa punyaku tak menjadi pelangi seperti punya Kak Dai?” seru Duan kesal.

“Itu karena Duan payah,” olok Dai langsung.

“Biarin,” Duan langsung membalas. “Daripada Kak Dai yang nggak bisa deteksi sihir yang semudah itu. Wee…!”

“Tapi kan Kalsobra punyaku sudah pelangi, wee…!” balas Dai.

“Kalian sudah dong,” Solar berkata kalem, menengahi. “Kak Ra, giliranmu tuh.”

Ra menggelengkan kepala. “Kau duluan saja Solar. Pilihlah.”

Tetua Fae menghela napas, menghilangkan rasa keterkejutannya tadi. “Kurasa kau pasti cocok menjadi penyembuh seperti mendiang ibumu Solar. Kalau kau ingin, ada kristal Reheal berlambang hati di sana,” Tetua Fae menunjuk sebuah Kalsobra.

“Tidak Tetua,” jawab Solar tenang. “Aku memang sangat menyayangi dan menghormati ibu, tapi aku tidak mau berjalan di bawah bayang-bayang kehebatan ibu. Dan kurasa ayah dan ibu juga akan memintaku bertindak demikian. Karena aku sudah cukup dewasa dan harus bisa menentukan langkahku sendiri.”

Solar melangkah mendekati sebuah kristal Kalsobra. “Lagipula, aku sudah tahu aku akan memilih yang mana, Tetua. Aku akan memilih ini kalau boleh.”

Solar mengambil kristal yang dipilihnya. Dan cahaya terang kembali bersinar menerangi ruangan itu.

Melihat kristal berlambang matahari mini yang diambil Solar, Tetua Fae langsung mengangguk dengan senyum tersungging di bibir. “Bagus sekali kau memilih itu. Lambangnya sesuai dengan namamu, solar… matahari. Itu lambang Rayphian, Penyihir Cahaya.”

“Rayphian,” Solar berkata kalem dan membenamkan kristal itu di lengan kirinya. Kembali sinar terang menyelimuti ruangan itu. Lalu…

“Punyaku sama sepertimu Duan.” Terdengar suara tenang Solar. “Aku masih kurang berlatih tampaknya.”

Tetua Fae dan kedua Fae penjaga memandang kagum. Kristal Solar juga langsung berubah menjadi level lima, emas seperti adiknya.

“Tinggal kau Ra,” ucap Tetua Fae pada Ra.

“Aku dari tadi tertarik dengan kristal itu Tetua,” sahut Ra sambil menunjuk sebuah kristal yang diletakkan terpisah di ujung ruangan. “Mengapa dipisahkan?”

“Oh itu Kalsobra kuno yang sudah berpuluh-puluh tahun berada di sini. Kurasa sih cacat, karena tak ada seorangpun yang bisa membuatnya bersinar,” kata Tetua Fae menerangkan.

Ra melangkah mendekati kristal yang dimaksudnya dan mengamatinya dengan seksama.

“Tak ada lambangnya?” Ia bertanya heran.

“Ya… karena itu aku berpikir kalau itu cacat,” jawab Tetua Fae.

“Kalau cacat, kenapa tak dibuang?” tanya Dai heran.

“Karena itu adalah satu-satunya kristal hasil kerjasama enam ras pengguna sihir,” jawab Tetua Fae serius.

“Maksudnya?” Dai bertanya tak mengerti.

“Beberapa puluh tahun yang lalu,” Tetua Fae bercerita. “Tetua Fae sebelum aku, bersama Ratu Niria lama, mengundang empat tokoh dari empat ras pengguna sihir yang lain. Mereka adalah: Weis Bit legendaris, Singa Emas Ansall; Pendeta Utama Seraphiand, Khimael; Raja Neptophiand, Sepodion; dan Ratu Geophiand, Willow.”

Tetua Fae berhenti sejenak, lalu melanjutkan lagi, “Keenam tokoh itu mencoba menyatukan kekuatan mereka untuk membentuk satu simbol yang khas yang bisa menjadi tanda perdamaian dunia. Mereka mencobanya pada kristal Kalsobra itu. Namun kemudian terjadi perselisihan dalam penggunaannya, dan ketiga tokoh Aphiand menolak untuk membuka diri mereka terhadap dunia umum. Sehingga mereka kembali menjadi tiga bangsa tersembunyi.”

Ra, yang terus memandangi kristal itu, akhirnya berkata, “Apa aku boleh mencoba Kalsobra ini?”

Tetua Fae tersenyum. “Tentu saja. Tapi jangan terlalu berharap Ra. Bahkan ayahmu pun tidak berhasil membuatnya bersinar.”

Ra dengan santai mengulurkan tangannya menyentuh kristal itu. Sejenak tak terjadi apapun. Namun… tiba-tiba kristal itu mendesis dan mulai bersinar. Tapi tidak seperti kristal-kristal sebelumnya, sinar kristal itu dimulai dengan cahaya yang redup yang terus menjadi semakin terang, semakin terang dan akhirnya…

Cahaya yang luar biasa terang menerangi ruangan, membutakan mata sesaat.

“Kri… Kristal Kalsobra itu bersinar,” Tetua Fae berseru tak percaya. “Setelah berpuluh-puluh tahun, kristal itu akhirnya bersinar. Astaga! Astaga…!”

“Hebat,” seru salah seorang Fae penjaga kagum.

“Apa namanya Tetua?” Ra bertanya kalem, seolah ini bukan hal yang luar biasa baginya.

Skaiphian… Penyihir Langit,” jawab Tetua Fae otomatis.

“Skaiphian ya?” sahut Ra dengan senyum santainya yang khas. “Aku suka itu. Baiklah, Skaiphian.”

Ra membenamkan kristal itu di punggung lengan kirinya dan kembali cahaya yang membutakan mata meliputi tempat itu. Lalu…

“Wuaa! Apa ini?” Dai berseru kaget.

“Kristal Duan bersinar lagi,” Duan ikut berseru.

“Tetua… Tetua…!” Terdengar seorang Fae penjaga berseru takjub. “Semua Kalsobra di sini bersinar.”

Braakk! Pintu masuk ruangan itu terbuka cepat dan dua Fae penjaga di ruangan sebelumnya mendobrak masuk.

“Gawat Tetua! Semua Kalsobra bersinar!” Mereka berseru dengan cemas.

Tetua Fae terpana tak percaya. Kristalnya juga ikut berpendar. Lalu…

“Sudah berhenti,” Duan berseru lagi. “Yaa… Tapi kristalku tidak berubah warna.”

“Punyaku juga,” sambung Dai.

“Ya, cuma kristal Ra yang berubah,” kata Tetua Fae. “Semuanya sudah kembali normal.”

Ra mengamati kristal pelangi tanpa lambang di punggung lengan kirinya dan bertanya tenang, “Apa yang sebenarnya terjadi tadi Tetua?”

Adik-adiknya, dan juga empat Fae penjaga yang berada di situ, semuanya menatap Tetua Fae, meminta jawaban.

Tetua Fae menghela napas. “Aku tak tahu pasti. Tapi aku bisa menebaknya.”

Ia terdiam agak lama…

“Kristal Skaiphian,” Tetua Fae melanjutkan keterangannya. “Seperti kubilang tadi, diciptakan oleh enam ras pengguna sihir. Berbeda dari yang lainnya, ia dibuat dari perpaduan bermacam jenis sihir dan bermacam elemen.”

Tetua Fae menghela napas lagi. “Tadi itu, kurasa, energi semua elemen yang berada di dalam Kalsobra Skaiphian, untuk pertama kali setelah berpuluh-puluh tahun, terpancing oleh kekuatan energi Ra dan mengalir keluar. Dan karena selama berpuluh-puluh tahun itu ia terus menyimpan energi, energi potensialnya terus bertambah. Dan kejadian tadi seperti ledakan energi yang mempengaruhi semua Kalsobra yang berada di sekitarnya…”

“Dan membuat yang lain berpendar, beresonansi pada ledakan energi itu,” Dai menyimpulkan.

“Ya. Tapi itu hanya teoriku. Aku tak bisa membuktikan kebenarannya,” kata Tetua Fae.

“Tapi kurasa itu penjelasan terbaik Tetua,” ucap seorang Fae penjaga. “Aku tak bisa menemukan penjelasan yang lebih baik dari itu.”

“Yah… pokoknya, kita semua sekarang sudah dapat Kalsobra kan? Kita jalan-jalan yuk Kak?” Duan berseru riang mengajak ketiga kakaknya pergi.

“Buru-buru amat Duan?” Tetua Fae langsung bertanya.

“Duan kan ingin makan sup sirip hiu,” sahut Duan bersemangat.

“Tapi Duan benar juga Tetua,” Solar berkata tenang. “Kami harus bergegas merekrut beberapa awak kapal supaya kami bisa ke Geinlungga secepatnya.”

“Benar juga,” Tetua Fae mengiyakan. “Baiklah, aku tak bisa memberi kalian apapun selain doa.”

“Itu sudah cukup Tetua,” sahut Ra sambil tersenyum. “Kami akan pergi sekarang. Permisi Tetua. Ayo semuanya!”

“Selamat tinggal Tetua,” Dai dan kedua adiknya ikut memberikan salam perpisahan dan segera melangkah mengikuti kakak mereka.

Leave a comment