PROLOG

Ark Atsura, 17 Whaleus 1416

Hari masih pagi. Tapi suasana sudah tampak sangat remang. Awan hitam bergulung menutupi langit. Sebentar lagi pastilah akan hujan deras.

Tak seperti biasanya, jalan raya di kota pelabuhan kecil Ark Atsura tampak sangat sunyi. Hanya ada lima sosok yang tampak di jalan itu. Satu sosok kekar pria dewasa, dua sosok remaja dan dua sosok anak-anak.

Gerimis mulai turun. Kelima sosok tersebut bergegas mencari perlindungan dari hujan,.memasuki rumah makan terdekat yang juga sangat sunyi, setengah tutup malah

“Sepi sekali di sini, Yah,” salah satu sosok remaja itu berseru. Ia seorang Fae, pengguna sihir, kalau melihat mata hijaunya. Sebenarnya ada simbol keemasan, simbol Fae, tertera di dahinya. Namun, karena ia menggunakan bandana merah, simbol itu jadi tak kelihatan.

“Tampaknya berita tentang Angya Yanga itu benar,” sosok pria dewasa menjawab. Seperti sang remaja, juga ketiga sosok lainnya, ia juga mempunyai mata hijau dan simbol keemasan di dahinya. “Tapi sekarang yang penting kita makan dulu. Kalian mau apa?”

“Ayam bakar boleh?” sosok remaja tadi bertanya, sambil menepuk-nepuk pakaian ringkas merah tuanya yang agak basah.

“Pesan saja,” jawab si pria dewasa sambil menganggukkan kepala ke pemilik rumah makan yang datang mendekat. Berbeda dengan anak-anaknya, pria ini sama sekali tak mempedulikan pakaian pemburu serba hitamnya yang setengah basah.

“Tuan Oswantu! Untung anda cepat datang. Sekarang masalah itu pasti beres,” sang pemilik rumah makan menyapa dengan gembira.

“Apa kabar Urda? Jadi berita itu benar ya?” Si pria dewasa, Oswantu, balas menyapa. “Yah pokoknya kami ingin makan dulu, bisa?”

“Tentu… tentu…”

“Paman Urda, aku pesan ayam bakar ya?” Si remaja yang tadi berseru riang.

Urda tersenyum ramah. “Tentu saja Dai.”

“Duan juga. Duan juga,” Anak perempuan terkecil yang paling baru berusia lima-enam tahun ikut berseru. Pakaian warna biru mudanya, tak seperti yang lain, ternyata tak basah sama sekali. Ajaib.

“Ikut-ikutan saja Duan,” omel Dai.

“Biarin,” Duan membalas sambil melotot ke kakaknya.

“Sudah Duan. Dai saja didengerin,” Remaja tertua, yang berbaju ringkas hitam, angkat bicara. Sikap dan nada suaranya santai sekali. “Aku sop sayur saja Paman.”

“Aku sama seperti Kak Ra,” anak cewek yang terakhir membuka suara. Tidak seperti saudara-saudari dan ayahnya yang mengenakan pakaian dari kain tebal, ia mengenakan pakaian sutra putih yang tampak sangat rapi, meskipun agak basah di beberapa tempat.

“Aku ayam saja,” Oswantu ikut memesan.

“Tiga ayam bakar, dua sop sayur,” jawab Urda. “Minumnya?”

“Air putih…” Kelima orang itu menjawab hampir serempak.

“Seperti biasanya ya? Khas Fae.” Urda menanggapi riang sambil meninggalkan mereka.

Oswantu menatap keempat anaknya dengan bangga. Istrinya, Sikuniam – seorang Fae penyembuh legendaris, telah meninggal empat tahun yang lalu. Ia merawat sendiri keempat anaknya sejak itu. Dan ia boleh berbangga diri mengatakan bahwa hasil didikannya sangat memuaskan.

Rapidash, Ra, anaknya yang tertua, baru berusia 13 tahun. Sikapnya selalu tenang menghadapi segala sesuatu, cenderung sangat santai malah. Untung begitu, karena ia memanggul karunia, atau juga bisa dibilang kutukan, sebagai pewaris tunggal kemampuan Ashiva, keahlian sihir segala elemen yang liar dan sulit dikendalikan.

Daikarp, yang sering disebut Dai saja, adalah anak lelaki yang kedua. Usianya 11 tahun. Sifatnya ceria dan agak berangasan. Solaria, yang dua tahun lebih muda dari Dai, justru bersifat anggun dan kalem. Sekecil itu, Solar sudah menguasai sihir penyembuhan yang tak kalah dengan Fae dewasa. Duania, yang paling muda diantara mereka semua, baru berusia lima tahun, masih kanak-kanak.

“Ayah…” Ra tiba-tiba berseru pelan. Sikap santainya berubah menjadi agak serius. Matanya lurus menatap keluar rumah makan.

“Aku tahu Ra,” Oswantu bergumam dan beranjak berdiri. “Saatnya bekerja. Jaga adik-adikmu.”

Oswantu melangkah ringan keluar. Sikapnya penuh kewaspadaan. Ia kemari karena permintaan tolong penduduk Ark Atsura untuk mengatasi teror yang dilakukan oleh seekor monster kegelapan yang memburu manusia untuk dihisap jiwanya, Angya Yanga.

Begitu tiba di ambang pintu, Oswantu menjentikkan jarinya. Dalam sekejap pedang energi muncul di tangannya. Ini keahlian khas Fae petarung, pedang sihir.

Di depan Oswantu, tiga pusaran kabut keunguan mendadak muncul, dan begitu pusaran itu hilang, tiga sosok berjubah hijau sudah berada di depan Oswantu. Mereka juga Fae, pengguna sihir, kalau melihat simbol keemasan di dahi mereka.

“Segel sihir kami tak bisa bertahan lebih lama. Untung kau sudah ada di sini Kak Os.” Salah satu sosok itu berseru pada Oswantu dengan lega.

“Tenang Galbim. Dimana kalian segel dia?” Oswantu bertanya tenang. “Batu itu ya?” Ia menunjuk batu besar di tengah lapangan rumput.

Orang yang disebut Galbim mengangguk dan berkata, “Benar, tapi…”

“Hati-hati Kak Os. Dia besar sekali, jauh lebih besar dan kuat dari Angya Yanga biasa,” Seorang Fae lainnya memotong.

“Hmm…” Oswantu hanya menggumam.

Bleggarrr….! Mendadak batu besar di tengah lapangan itu meledak. Batu besar itu kini digantikan sosok makhluk mengerikan, sang Angya Yanga.

Makhluk itu benar-benar mengerikan. Bentuknya mirip anjing atau serigala, hanya saja makhluk ini tak memiliki bulu. Tubuhnya tertutup pisau-pisau tebal yang hitam mengkilap, seperti landak. Wajahnya sangar dengan mata merah membara dan mulut menyeringai memamerkan gigi-gigi tajam berlendir hijau bening. Yang membuat makhluk ini lebih mengerikan, sangat mengerikan… adalah ukurannya yang besar, luar biasa besar… hampir sebesar kerbau dewasa.

“Minggir!” Oswantu berseru pada ketiga Fae di dekatnya dan segera menerjang tanpa basa-basi…

Pedang energi melesat menyambar… mengenai angin. Si Angya Yanga sudah menghindar lebih cepat.

Angya Yanga itu meraung keras, melengkik memekakkan telinga, dan balas menerjang. Mulutnya terbuka, menyambar… mencoba menggigit leher Oswantu. Gagal.

Dengan ringan Oswantu melangkah berputar, menghindar ke samping.  Kakinya terayun dan menendang sang monster hingga terpental jauh.

Oswantu tak memberi kesempatan. Ia mengacungkan tangan kirinya ke arah si Angya Yanga. Telapaknya terbuka, dan bola sinar melesat keluar dari telapak tangannya. Tidak cuma satu, puluhan bola sinar melesat berurutan, memberondong si Angya Yanga, seperti senapan mesin.

Ledakan berurut-turut menggema ketika bola-bola sinar tersebut menghantam tubuh Angya Yanga.

Graaawwrr…!” Angya Yanga itu meraung semakin keras. Ia merunduk, membuka mulutnya dan seberkas sinar hitam keluar dari mulutnya, menuju tepat ke arah Oswantu.

“Hemph!” Oswantu mendengus dan mengulurkan tangan kirinya lagi dengan telapak terbuka seperti tadi. Kali ini yang muncul adalah semacam perisai energi, menahan sinar hitam dari mulut Angya Yanga.

Terdengar lagi benturan keras. Kali ini tubuh Oswantu yang terlempar terjengkang ke belakang, terkapar di tanah.

Si Angya Yanga tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melompat memburu, dan…

Seagard Charn!” Oswantu berseru keras sambil menggulingkan diri menghindar.

Terdengar suara gemeretakan dan pilar-pilar batu tajam seolah hidup dan tumbuh… mencuat di tempat dimana Oswantu jatuh tadi, menggantikan Fae itu menerima terjangan Si Angya Yanga.

Tubuh Angya Yanga menabrak keras pilar-pilar tajam itu. Namun rupanya monster ini memiliki badan yang luar biasa kuat. Terbukti dengan hancurnya pilar-pilar karang yang terbentur tubuhnya.

Kroasent Riat!” Oswantu berseru lagi sambil menerjang si Angya Yanga. Puluhan sabit cahaya berkelebatan mengelilinginya, mencoba menyayat badan si Angya Yanga bertubi-tubi.

Dessh! Oswantu mengakhiri serangannya dengan tendangan yang mementalkan sang monster sekaligus membuatnya bersalto balik dan mendarat dengan ringan.

“Hemmph! Kulitnya keras juga,” Oswantu bergumam melihat serangannya tadi tak melukai sang monster sedikitpun. “Kalau begitu…”

Raungan yang menggetarkan jiwa kembali terdengar. Si Angya Yanga bangkit berdiri lagi.

Oswantu mengulurkan tangan kiri sekali lagi ke depan. Kali ini muncul kilatan petir yang langsung menabrak si monster, membuatnya terpaku beberapa saat.

Oswantu melompat tinggi… dan berhenti di udara, menakjubkan. Pedang energi telah lenyap dari tangan kanannya. Kini kedua telapak tangannya terarah ke atas.

Retome Nahju!” Sang pengguna sihir itu berseru. Bola cahaya kecil muncul di atasnya, dan membesar dengan sangat cepat… menjadi… luar biasa besar.

“Sekarang!” Oswantu membentak dan mengayunkan kedua tangannya, melemparkan bola cahaya raksasa itu kepada Angya Yanga.

Suara ledakan yang terdengar kemudian bahkan lebih keras dari gelegar petir di angkasa. Bola cahaya raksasa Oswantu menghantam tubuh sang monster, melesakkannya ke dalam tanah yang basah.

Oswantu mendarat dengan ringan. Pandangan matanya terus terarah pada tempat Angya Yangya itu melesak dalam tanah. Tindakan yang bijaksana, sebab…

Gelegar kembali terdengar. Sang monster melesat keluar dari dalam tanah, menerjang langsung sang Fae.

“Hemph!” Oswantu kembali mendengus. Ia menggunakan langkah berputarnya lagi untuk menghindar. Serangan Angya Yanga itu mengenai tempat kosong.

Grooowwrr!”  Sang Angya Yanga meraung, membalik badan dan… “Boleh juga kau, Fae!

“A… Apa?” Oswantu tersentak kaget. Monster ini… dia… bicara…

Kenapa?! Kaget?! Aku bukan Angya Yanga biasa, tahu?! Aku Vile Monde!

Wajah Oswantu memucat. “Vi… Vile Monde?” Ia tahu apa itu Vile Monde. Vile Monde adalah bangsa kegelapan yang dikurung oleh bangsa Esperian beribu-ribu tahun yang lalu. Bangsa yang begitu memuja kekuatan, hingga rela merubah diri menjadi monster demi memperoleh kekuatan itu.

Kau pikir kami sudah musnah, hah?! Salah besar! Kami sudah mulai datang kembali!

“Begitu?” Oswantu dalam waktu singkat kembali memperoleh ketenangannya. “Jadi kalian mulai kembali ya?”

Ya. Dan kami akan menguasai dunia seperti dulu. Semua yang menentang kami akan musnah. Dan itu akan dimulai darimu!

“Dariku?” Oswantu bertanya tenang. “Benarkah? Aku bukan orang lemah tak berdaya. Bahkan, kurasa aku mungkin masih jauh lebih kuat darimu.”

Mungkin. Kalau kau sedang berada dalam keadaan sehat. Untung bagiku, kau saat ini sedang sangat lemah. Kenapa dengan energimu? Heheheheheh…!”

Wajah Oswantu memucat. Ketahuan. Ia memang sedang tidak dalam kondisi fit. Dua hari yang lalu, ia baru saja menyembuhkan penyakit parah tujuh orang penduduk Gyoya dengan kekuatan sihirnya. Masalahnya, tidak seperti mendiang istrinya, Oswantu tidak ahli dalam pengobatan. Pengobatan yang dilakukannya dua hari lalu itu sangat menguras sebagian besar tenaganya. Saat ini kemampuannya tak ada separuh dari kemampuan aslinya.

“Hemph! Dengan sedikit tenagaku ini saja, aku masih bisa mengalahkanmu,” dengusnya.

Oh ya?! Mungkin… Tapi sayangnya kau Fae. Kau punya kelemahan yang sama seperti Fae-Fae lainnya,” Angya Yanga itu berkata dengan nada mengejek. Pisau-pisau di tubuhnya tegak berdiri. Percikan listrik mulai bermunculan di sekitarnya.

Lihat ini! Bisakah kau membiarkan semua yang terkena serangan ini musnah?!

“Apa…?!” Oswantu kembali memucat wajahnya.

Sang Angya Yanga membuka mulutnya dan bola sinar raksasa kebiruan keluar dari mulut monster itu, melesat lurus… ke arah rumah di sebelah Oswantu.

“Licik!” Oswantu memaki marah. Ia melesat memapaki serangan itu, sambil menciptakan perisai darurat melindungi tubuhnya.

Terdengar benturan membahana. Tubuh Oswantu terlempar. Perisai daruratnya tak sanggup menahan sepenuhnya serangan itu.

“Sial!” Oswantu segera berguling bangkit… dan melihat bola sinar kebiruan lainnya mulai terbentuk di mulut sang Angya Yanga mengarah ke rumah makan tempat keempat anaknya berada.

“Keparat licik!” Oswantu memaki marah dan melesat menghadang arah serangan sang monster.

Ledakan benturan kembali terdengar. Perisai darurat sang Fae kali ini juga tak sanggup menahan sepenuhnya serangan ini. Tapi kali ini Oswantu tak membiarkan tubuhnya terlempar. Ia bertahan sekuat tenaga hinga tubuhnya terseret jauh ke belakang.

Hahahaha…! Seperti Fae lainnya.” Sang monster tertawa mengejek. Bola sinar lainnya sudah mulai terbentuk lagi, mengarah ke rumah lainnya.

“Pengecut!” Oswantu mendengus dan memuntahkan darah. Tubuhnya terluka cukup parah oleh serangan serangan licik monster itu. Tapi ia tak bisa membiarkan penduduk kota ini celaka. Ia melesat dan menghadang serangan berikutnya.

Blegarr! Blegarrr! Blegarrr…!

Serangan maut sang monster bertubi tubi menghantam tubuh sang Fae yang melesat kesana-kemari mencoba melindungi kota dengan tubuhnya.

Akhirnya pada serangan yang ke dua belas, badan Oswantu tak mampu lagi bertahan… tubuhnya terlempar dan terjatuh bagai layang-layang putus. Membentur tanah.

Hahahaha…! Satu musnah!” Sang Angya Yanga tertawa puas.

“Ayaahhh…!” Empat sosok melesat keluar dari rumah makan dan langsung memburu ke arah Oswantu… Rapidash dan ketiga adiknya.

Anak-anaknya heh?! Akan kuantar kalian menemaninya ke neraka. Grooowwrr…!

Bola sinar raksasa kebiruan melesat lurus ke arah Rapidash dan adik-adiknya… dan…

Dessshhh…! Bola sinar itu terpental jauh ke atas.

Rapidash berdiri tegak menghadang. Remaja ini dengan pelan menurunkan tangan kanannya yang tadi digunakan untuk menangkis serangan bola sinar itu. Ia bukan lagi Rapidash yang biasanya tenang dan santai. Rapidash yang ini… mengerikan.

Tak mungkin!” Sang Angya Yanga terpana tak percaya. Bola sinarnya tak mungkin ditepis hanya dengan satu tangan.

“Bunuh!” Rapidash menggeram murka sambil melangkah pelan ke depan. Ia… mengerikan. Matanya yang biasanya sayu mengantuk itu kini melotot tajam memerah. Mulutnya yang biasa dihiasi senyum santai kini terkatup rapat. Kulitnya yang basah oleh gerimis menggelap, ototnya mengencang dan urat-urat kebiruan tampak bertonjolan di permukaan kulitnya. Sekujur tubuhnya memancarkan hawa kemurkaan yang luar biasa dahsyat.

“Bunuh…!” Rapidash menggeram sekali lagi sambil terus melangkah ke depan. Saat ini ia sungguh menakutkan.

Mata-mata penduduk yang dari tadi mengintip dari sela-sela jendela rumah mereka terpaku ke arah remaja itu, ketakutan. Oswantu dan ketiga anaknya juga terpaku tak bisa berkata-kata melihat kemurkaan Rapidash, kemurkaan yang belum pernah mereka saksikan.

Angya Yanga, ia melangkah mundur dengan gemetar. “Aku… Aku gemetar takut? Tak mungkin! Tak mungkin!

Sang monster meraung dahsyat, keras membahana, seakan dengan begitu kegentarannya bisa musnah. Dan mendadak meloncat menerjang Rapidash.

“Bunuuhhh…!” Rapidash meraung keras dan menghantam. Cahaya kilat muncul dibarengi dengan suara ledakan dahsyat yang menggoncangkan semangat.

Rapidash terdiam dengan posisi tangan memukul ke depan….

Angya Yanga… lenyap… menjadi… debu…

Lenyap tersapu gerimis…

tak bersisa…

……..

Rapidash masih terdiam…

dan…

“Ka… kak Ra. Duan… Duan takut…” Suara lirih Duania ini memecah keheningan. Dan suara ini bagaikan mengguyur Rapidash dengan air dingin.

Rapidash menurunkan lengannya perlahan. Hawa kemurkaannya mengendur dengan cepat.

“Ra…” Terdengar suara perlahan memanggil, suara Oswantu.

Rapidash menoleh cepat dan bergegas menghampiri ayahnya.

Oswantu terbatuk-batuk, memuntahkan darah segar dari mulutnya.

“Ayah!” Keempat anaknya berseru cemas.

“Heheheheh…” Meskipun kondisinya sudah terbaring tak berdaya, Oswantu masih bisa tertawa. “Tak apa-apa… Sudah saatnya ayah pergi… menemui ibu kalian.”

“Ayah…!” Keempat anaknya kembali berseru cemas.

“Maaf… Maafkan Ayah… Ayah masih ingin menemani kalian… tapi…”

“Kakak,” Solaria memandang Rapidash dengan muka sedih. Air mata menetes di pipinya. Rapidash menunduk paham. Solaria tak sanggup mengobati ayah mereka. Dan kalau Solar yang paling ahli sihir pengobatan saja tak sanggup, ia apalagi.

Oswantu mengusap rambut Solaria. “Bukan salahmu Solar… Memang sudah… saatnya ayah pergi…”

“Tapi Ayah…”

“Solar… Kita Fae… Kematian… bukan apa-apa… bagi Fae, kau ingat?” Oswantu menyela anaknya.

Solaria menunduk dan mengusap air matanya. Oswantu tersenyum.

Ia lalu memegang pundak Daikarp yang berjongkok di sebelahnya. “Dai… berjanjilah… kau harus… harus mematuhi… kakakmu… dan menjaga adik-adikmu.”

Wajah Dai memucat. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya. “Aku… aku berjanji ayah.”

“Aku percaya…” jawab Oswantu lega.

Oswantu lalu menoleh ke arah Duania.

“Duan…” Oswantu mengusap rambut Duan. “Patuhilah… kakak-kakakmu…”

Duan mengangguk dan dengan sesenggukan, ia mengusap air matanya. Biarpun ia masih sekecil itu, ia tahu arti kata-kata ayahnya… ayahnya akan pergi meninggalkan mereka.

Oswantu lantas berpaling pada Rapidash. “Ra… jangan pernah marah lagi… jagalah adik-adikmu.” Ia tersenyum, “Aku bisa… pergi… dengan tenang… karena… aku tahu kau pasti… pasti… akan menjaga… adik-adikmu… dengan… dengan bijak…”

“Aku gelap mata tadi, Ayah. Maaf. Aku takkan lepas kendali lagi,” ucap Rapidash tenang. Kalaupun ia merasa sedih, hal itu tak ditunjukkannya sama sekali.

Oswantu menengadah ke langit. “Sayang… aku… aku tak bisa… membawa kalian… mengelilingi dunia… seperti… seperti janjiku…”

“Aku akan membawa mereka mengelilingi dunia menggantikan Ayah,” Rapidash menyahut, tenang sekali… seolah ini hal yang biasa sekali terjadi. Sangat jauh berbeda dengan Rapidash yang tadi membantai Angya Yanga dalam satu serangan. “Ayah bisa pergi dengan tenang menemui ibu.”

Oswantu menoleh ke arah Rapidash dan tersenyum. “Ya… aku… bisa… menemui ibu kalian… tanpa penyesalan…” Lalu iapun menutup mata…

Skaidawner (Bab 1 – Empat Penyihir Muda)

Leave a comment